Mewujudkan Organisasi Pajak Dunia

Pasca perang dunia kedua, negara-negaa di dunia dibayangi oleh aman gelap krisis ekonomi Rusaknya infrastruktur akibat perang, belum stabilnya kondisi politik dan keamanan dunia, serta belum pulihnya perdagangan internasional membuat ancaman inflasi dan ketidakpastian ekonomi menjadi semakin nyata pada masa itu.

Untuk mendorong pemulihan ekonomi sekaligus menyalurkan bantuan pasca perang dalam skema Marshall Plan, beberapa Negara Eropa berinisiatif membentuk Organisation for European Economic Co-operation (OEEC) pada tahun 1948. Organisasi itu yang menjadi cikal bakal OECD seperti saat ini.

Dalam perkembangannya, anggoa OECD tidak hanya didominasi oleh negara-negara Eropa semata, tetapi juga negara berpendapatan tinggi, seperti Amerika, Kanada, Selandia Baru dan Australia. Selain itu, OECD tidak hanya berfokus pada perkembangan ekonomi dan perdagangan, tetapi juga dalam perpajakan.

Pemikiran, gagasan, pembahasan dan jurnal yang diterbitkan oleh OECD telah menjadi rujukan bagi berbagai otoritas perpajakan di dunia dalam mengambil kebijakan. Namun demikian, OECD bukanlah organisasi perpajakan dunia yang mewakili keentingan seluruh negara maju dan negara berkembang.

Menurut Darussalam dan Septriadi (2017), pandangan OECD dalam hal pemajakan umumnya lebih memberikan prioritas dan hak pemajakan kepada negara maju daripada negara berkembang. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar anggota OECD merupakan negara maju tempat modal, teknologi dan sumberdaya manusa berasal.

Tidak adanya organisasi perpajakan yang menaungi seluruh otoritas perpajakan tersebut telah menyebabkan beberapa implikasi negatif. Di antaranya adalah terjadinya perbedaan kebijakan pemajakan antar otoritas perpajakan dalam transaksi dan perdagangan internasional. Muncul pula persaingan tidak sehat antar otoritas perpajakan serta terjadinya peningkatan sengketa perpajakan internasional dan terjadi peningkatan biaya administratif yang dikeluarkan wajib pajak. Selain itu, tidak adanya organisasi perpajakan internasional telah menyebabkan terjadinya peningkatan praktik penghindaran pajak oleh wajib pajak dengan cara memanfaatkan celah perbedaan kebijakan antar otoritas perpajakan. Serta, menyebabkan belum tercapainya kesepakatan pemajakan ekonomi digital sampai dengan saat ini.

Berkaca dari hal tersebut diatas, perlu dibentuk suatu organisasi perpajakan tingkat dunia yang tidak hanya independen, namun juga mewakili kepentingan seluruh negara. G20 sebagai forum dari negara-negara yang mewakili 80% PDB dunia, 75% ekspor global dan 60% populasi dunia pada dasarnya mempunyai kesempatan besar dalam mewujudkan organisasi pajak dunia tersebut.

Sejarah telah membuktikan bahwa G20 sebagai forum internasional mempunyai kontribusi besar dalam menentukan arah kebijakan perpajakan dunia.

Sebagai contoh, pada tahun 2012 negara-negara G20 sepakat untuk melakukan pertukaran informasi guna kepentingan perpajakan. Kesepakatan ini kemudian berkembang menjadi cikal bakal BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang ditetapkan oleh OECD pada tahun 2015. Sampai dengan saat ini, sudah terdapat 139 negara yang meratifikasi ketentuan BEPS guna mengakhiri penghindaran pajak (Bank Indonesia, 2022).

Menurut Brooks (2009), pembentukan sebuah organisasi perpajakan dunia akan membawa banyak keuntungan bagi otoritas perpajakan dan dunia usaha. Antara lain: mendorong pembelajaran bersama antar otoritas perpajakan terhadap isu-isu fiskal dan perpajakan, mengurangi biaya transaksi lintas batas negara,mencegah pemajakan berganda, meminimalisir kesempatan wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak dan mencegah terjadinya kompetisi antar otoritas perpajakan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, agaknya Presidensi G20 merupakan momen yang tepat bagi Indonesia untuk mendorong terwujudnya organisasi pajak dunia, Terlebih, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Presidensi G20 Indonesia akan melahirkan inisiatif yang konkret dalam membangun tata kelola yang lebih sehat, lebih adil, dan berkelanjutan berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (Kominfo, 2021).

Selain itu, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa terdapat enam agenda prioritas finance track pada presidensi G20 Indonesia. Salah satunya adalah isu perpajakan internasional dalam menciptakan kepastian rezim pajak, transparansi, dan pembangunan (Kominfo,2021).

Menurut penulis, terdapat tiga alternatif yang dapat diambil oleh Presidensi G20 Indonesia dalam melahirkan inisiatif strategis pembentukan organisasi pajak dunia. Pertama, Presidensi Indonesia dapat mengambil peran dalam mengusulkan pembentukan suatu organisasi perpajakan baru yang independen yang melindungi kepentingan negara maju maupun negara berkembang.

Tanzi (1999) menjelaskan bahwa sebuah organisasi pajak dunia harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan perpajakan internasional, melakukan kompilasi informasi perpajakan internasional, memberikan bantuan teknis kepada negara-negara anggotanya terkait kebijakan pajak dan administrasi, mengembangkan norma dasar dalam kebijakan pajak serta menyelenggarakan forum dimana otoritas perpajakan dan para ahli dapat bertukar pendapat yang menaungi kepentingan seluruh negara.

Kedua, Presidensi Indonesia dapat mengambil posisi dengan memberikan usulan untuk memperkuat fungsi Komite Perpajakan PBB sebagai katalisator dalam meningkatkan koordinasi perpajakan dunia. Penguatan fungsi Komite Perpajakan PBB dalam melakukan koordinasi organisasi pajak dunia mempunyai keuntungan tersendiri.

Hal ini dikarenakan sampai dengan tahun 2022, jumlah negara yang menjadi anggota PBB adalah sebanyak 193 negara (UN, 2022). Jadi, paling tidak penguatan fungsi Komite Perpajakan PBB dalam koordinasi perpajakan internasional akan mewakili kepentingan perpajakan negara maju dan negara berkembang (UN,2022).

Ketiga, Presidensi Indonesia juga dapat menjadi ajang untuk menjadikan OECD sebagai organisasi yang mewadahi otoritas pajak dunia. Langkah OECD untuk menjadi organisasi pajak dunia sebenarnya sudah terlihat dari kemampuannya dalam merangkul 141 Negara di dunia untuk bergabung dalam OECD inclusive framework on BEPS. Apalagi, OECD dikenal mempunyai reputasi yang baik dalam memformulasikan kebijakan perpajakan.

Apapun pilihan yang diambil dalam presidensi G20 Indonesia, kesepakatan mengenai organisasi pajak dunia merupakan langkah penting dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ketidakpastian ekonomi 2023.

Sumber: Tabloid KONTAN- Kamis, 17 November 2022

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only