Kamar Dagang Indonesia (Kadin), meminta pemerintah mengeluarkan terobosan kebijakan di sektor minyak dan gas (migas) untuk mengurangi angka defisit migas. Kinerja neraca perdagangan migas yang mengalami defisit sebesar US$ 10,74 miliar dalam 10 bulan pertama tahun ini turut berkontribusi terhadap melebarnya defisit neraca dagang Januari-Oktober 2018 sebesar US$ 5,51 miliar atau setara Rp 82,72 triliun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya surplus US$ 11,86 miliar.
Ketua Umum Kaduin Rosan Perkasa Roeslani mengatakan pemerintah harus membuat terobosan di sektor migas jika ingin serius menagani masalah ini.
Pertambahan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan konsumsi migas, tak sejalan lifting minyak menyebabkan jarak antara kebutuhan dan jumlah produksi makin melabar menjadi persoalan terbesar defisit migas.
Sehingga usulannya, pemerintah harus membuat kebijakan yang mampu menarik investor migas dan menjadikan invetsasi di sektor ini menjadi menarik. Sebab, resiko yang besar di sektor migas menurutnya kurang dibarengi dengan imbal balik (return) yang sesuai.
“Mau ini gross split atau apa, buat mereka selama itu hitungannya tak menarik, mereka tak mau masuk. Makanya sekarang investasi banyak lari ke Afrika,” kata Rosan di Batam, Jumat (16/11).
Dia pun mencontohkan Venezuela sebagai negara penghasil minyak terbesar dunia yang saat ini dalam kondisi bangkrut, salah satunya karena investasi enggan masuk ke negara tersebut. Minimnya investasi yang masuk, kata Rosan, dikarenakan kebijakan pemerintahnya yang ingin mengambil bagian terlalu besar dalam setiap klausul investasi sehingga dianggap tak menarik.
“Karenanya di Indonesia harus ada terobosan baru. Karena sejauh ini saya melihat migas kebijakannya tidak pernah disentuh (pemerintah). Pajak penghasilan (PPh) migas kurang signifikan dampaknya,” ujarnya, Kamis (25/10) lalu.
Minimnya investasi sektor migas sebelumnya pernah dijabarkan Indonesian Petroleum Association (IPA). Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan turunnya investasi ini dinilai bukan hanya semata karena faktor harga minyak dunia.
Mengacu data Kementerian ESDM, harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2016, rata-rata harga minyak hanya US$ 35,46 per barel. Tahun 2017, bisa mencapai US$ 51,15 per barel.
Namun, investasi migas justru turun sejak periode 2014 hingga 2017. Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar. Sementara itu, hingga kuartal III tahun 2018, investasi migas hanya US$ 8 miliar.
Atas dasar itu, menurut Marjolijn, ada faktor lain yang menyebabkan investasi migas turun. “Kenaikan harga minyak kan terjadi hampir setahun ini. Jadi sepertinya investor sedangkan mempertimbangkan termasuk untuk memilih investasi mana yang lebih menguntungkan,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (25/10).
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya juga menilai, kenaikan harga minyak seharusnya menjadi momentum mendongkrak investasi. Namun, peluang itu tampaknya tak bisa diraih Indonesia karena beberapa kendala.
Lepasnya peluang menarik investasi ini terlihat dari hasil lelang blok migas yang digelar pemerintah tahun ini. Dari lelang tersebut ada blok yang tidak laku. Padahal, pemerintah telah memperpanjang jadwal lelang memberi ruang bagi investor.
Peluang itu justru dimanfaatkan oleh negara tetangga seperti Vietnam dan Myanmar. Menurut Berly, negara tersebut kini lebih maju dari Indonesia dalam menarik investor, karena memiliki beberapa terobosan seperti kejelasan regulasi, juga kecepatan prosedur dalam proses administrasi.
Sebaliknya, Indonesia saat ini masih berkutat dengan permasalahan-permasalahan regulasi. Berly pun mengutip data survei PriceWaterhouseCoopers (PwC) tahun 2016 yang membeberkan faktor penyebab iklim investasi sektor migas tidak menarik.
Kendala yang masih relevan dihadapi pemerintah saat ini adalah kesucian kontrak. Kemudian tidak konsistennya kebijakan antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perindustrian.
Selain itu adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.02/2014 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan AtasBarang Mewah Atas Perolehan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Kepada Kontraktor Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi. Aturan ini dianggap menghambat investasi.
Kendala lainnya adalah ketidakpastian atas pemulihan biaya (cost recovery) yang kerap menjadi temuan audit di SKK Migas oleh lembaga pemeriksa keuangan. Tak hanya itu, faktor lainnya adalah kurangnya badan tunggal yang secara objektif menyelesaikan sengketa pemerintah di berbagai departemen dan lembaga baik dari level pusat, provinsi, hingga kabupaten.
Jadi permasalahan itu yang seharusnya diselesaikan pemerintah. “Menurut saya masih sama masalahnya sekarang,” kata Berly.
Sumber : katadata.co.id
Leave a Reply