JAKARTA. Pemerintah tengah meramu kebijakan anyar untuk menekan defisit neraca jasa. Harapanya, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) semakin membaik lantaran neraca jasa merupakan penyumbang terbesar CAD Indonesia.
Defisit neraca jasa Indonesia selama ini banyak disumbang oleh jasa angkutan. Makanya, pemerintah berencana memberikan insentif bagi industri angkutan udara dalam negeri melalui fasilitas penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan jasa kena pajak sewa alat angkutan udara, baik yang digunakan oleh nasional maupun internasional.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Rofyanto Kurniawan mengatakan, kebijakan ini tengah dipersiapkan, selain kebijakan perluasan PPN 0% ekspor jasa yang ditargetkan rampung akhir tahun ini.
“Untuk insentif jasa angkutan udara perlu revisi PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 69 (Tahun 2015),” ujarnya kepada KONTAN, Senin (12/11). Selama ini, Pasal 3 PP Nomor 69 Tahun 2015 mengatur jasa kena pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN, mencakup dua hal. Pertama, jasa persewaan pesawat udara. Kedua, jasa perawatan dan reparasi udara. Tetapi keduanya hanya yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri saja.
Sebab itu, jika beleid ini direvisi maka pungutan PPN bakal ditiadakan untuk jasa sewa angkutan udara yang tak hanya digunakan oleh perusahan angkutan niaga nasional, tetapi juga oleh perusahaan internasional. Dengan demikian, industri angkutan udara nasional lebih bisa bersaing dan defisit neraca jasa ke depan lebih terkendali.
Kepala BKF Kemkeu Suahasil Nazara mengaku, calon insentif ini masih dibahas di tingkat kementerian atau lembaga (K/L). Sayangnya, ia belum mau menargetkan kapan pembahasannya rampung. “Diusahakan secepatnya,” kata dia.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Hestu Yoga Saksama juga mengaku belum bisa menghitung potensi penerimaan pajak yang hilang jika rencana kebijakan ini diterapkan.
Perlu diperluas
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menjelaskan, PPN pada prinsipnya adalah pajak atas konsumsi yang pengenaannya dilakukan di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. makanya, ia menilai rencana pemerintah tepat untuk mengembalikan PPN ekspor jasa pada prinsipnya dan menghindari terjadinya risiko pajak ganda (double tax).
Selama ini, pajak ganda membuat ekspor jasa transportasi Indonesia sulit bersaing. Sebab, selain perkara kualitas jasa yang disediakan, konsumen jasa di luar negeri menganggap biaya jasa dari Indonesia lebih mahal.
Oleh karena itu, Prastowo berpendapat insentif PPN ekspor jasa harus terus diperluas ke jasa-jasa lainnya, bahkan seluruh ekspor jasa.
“PPN seharusnya bersifat general, tidak membedakan antara konsumsi barang atau jasa sehingga jika dikonsumsi di luar negeri, perlakuan PPN juga seharusnya sama,” terangnya. Pemerintah seharusnya juga memberlakukan insentif PPN serupa untuk jasa angkutan laut. Transportasi laut merupakan salah satu sektor yang didominasi oleh penggunaan kapal-kapal asing. “Menggerus devisa dan juga tidak kompetitif,” ujar dia.
Sumber: harian kontan
Leave a Reply