Target penerimaan perpajakan tahun depan meningkat 15,4%. Meski begitu, penggalian sumber pendapatan harusnya tetap melindungi iklim investasi.
Begitu Rapat Paripurna pelngesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi undang-undang, Rabu siang (31/10) pekan lalu, berakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bergegas meninggalkan gedung DPR. Ia langsung menuju kantor pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Di kantor yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, itu sudah menunggu jajaran bawahannya di Kementerian Keuangan. Ada Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Askolani, Dirjen Pajak Robert Pakpahan, serta Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Tak seperti biasa, siang itu mereka kompak mengenakan busana putih hitam dengan pita hitam di lengan kiri. Pemasangan pita ini sebagai tanda berduka atas 20 pegawai Kementerian Keuangan yang menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, Senin pagi (29/10).
Sri Mulyani menggelar konfensi pers guna menjelaskan UU APBN 2019 yang baru ketok palu dalam Rapat Paripurna DPR. “Hari ini, dewan mencapai keputusan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2019 menjadi Undang-Undang,” katanya.
Sang menteri lantas menyambung pemaparanya dengan menyebutkan, target penerimaan perpajakan pada APBN 2019 mencapai Rp 1.786,4 triliun. Target gabungan penerimaan dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai ini tumbuh sebesar 15,4% dari outlook APBN 2018.
Dengan target tersebut, maka kontribusi penerimaan perpajakan terhadap total pendapatan negara mencapai 84%. Artinya, pajak tetap menjadi sumber utama penerimaan negara. Pajak penghasilan (PPh) masih mendominasi penerimaan perpajakan, dengan target Rp 894,3 triliun. Perinciannya: PPh migas Rp 66,1 triliun dan PPh nonmigas Rp 828,2 triliun.
Kemudian, pajak pertambahan nilai (PPN) menyumbang Rp 655,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 19,1 triliun, cukai Rp 165,5 triliun, pajak lainnya Rp 8,6 triliun, serta pajak perdagangan internasional sebanyak Rp 43,3 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, target penerimaan perpajakan itu cukup realistis. Apalagi, pertumbuhannya lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya yang selalu di atas 20%. “Pertumbuhan perpajakan 15,4% realistis untuk dicapai,” ujarnya.
Menteri Keuangan pun optimis Ditjen Pajak bisa mencapai target Rp 1.576 triliun, sekalipun tanpa upaya ekstra seperti penegakan hukum yang berlebihan. Dengan begitu, pegawai pajak juga akan lebih ramah kepada wajib pajak.
Melindingi investasi
Pemerintah, Sri Mulyani menyebutkan, bakal menerapkan strategi perpajakan tahun depan dengan mendorong peningkatan iklim investasi dan daya saing. “Melakukan penggalian sumber pendapatan negara dengan tetap melindungi iklim investasi dan daya saing ekspor, serta mendorong tingkat kepatuhan melalui reformasi perpajakan yang lebih sederhana dan transparan,” jelasnya.
Strategi pajak tersebut juga untuk mengatasi tren penurunan rasio pajak (tax ratio) yang terjadi selama empat tahun belakangan, periode 2014 hingga 2017.
Menurut Askolani, pemerintah sangat berhati-hati dalam menyusun target penerimaan pajak pada 2019. Semua berdasarkan hitung-hitungan dengan menggunakan basis data penerimaan pajak di 2018.
Tahun ini, penerimaan pajak di berbagai sektor diyakini tumbuh signifikan, baik PPh, PPN, maupun lainnya. Kenaikan yang cukup bagus di 2018 ini merupakan dampak kepatuhan wajib pajak dan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). “Hasil positif ini menjadi landasan kami menyampaikan target di 2019 plus dikombinasikan dengan outlook,” katamya.
Target penerimaan pajak juga mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pesta demokrasi yang akan berlangsung tahun depan. “Dengan adanya pemilu, justru bisa menggenjot kegiatan ekonomi sehingga ikut berpotensi menggenjot pajak,” imbuh Askolani.
Lalu, ada juga dampak reformasi perpajakan. Harapannya, upaya ini mampu menopang pencapaian target penerimaan perpajakan pada 2019. “Jadi, kenaikan 15% seimbang dan realistis,” tegas Askolani.
Pengusaha resah
Kendati target penerimaan pajak tahun depan tinggi, pemerintah menjamin, pegawai pajak tetap friendly dengan investor. “Bagi wajib pajak yang sudah patuh, harus kami hormati dan dijaga,” janji Askolani.
Karena itu, pemerintah akan melanjutkan pemberian insentif yang sudah berjalan, demi mendorong peningkatan iklim investasi. Misalnya, pembebasan dan pengurangan PPh untuk periode tertentu (tax holiday dan tax allowance), PPh final 0,5% bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Toh, pelaku usaha tetap resah. Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menilai, target penerimaan pajak tahun depan terlalu tinggi. Demi mengejar target tersebut, Ditjen Pajak kerap mencari-cari sumber penerimaan baru yang ujung-ujungnya membebani dunia usaha. “Itu sudah terbukti di tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Di tengah kondisi ekonomi yang sedang lesu, seharusnya pemerintah tidak terus membebani pengusaha dengan pungutan-pungutan pajak yang bisa menghambat perkembangan dunia bisnis. Ade sendiri tidak yakin pemungutan pajak tahun depan akan lebih ramah tarhadap investor seperti dijanjikan pemerintah sekarang.
Soalnya, ramah terhadap iklim investasi yang pemerintah maksud adalah memberikan insentif perpajakan. Menurut Ade, kebijakan itu lebih banyak ditujukan ke investor baru. “Sementara pengusaha lama tidak dapat apa-apa, terus menjadi objek pajak,” ujarnya.
Hariyadi Sukamdani, ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), tidak mempermasalahkan bila pemerintah menggali potensi penerimaan pajak baru. “Tapi, jangan yang sudah rajin bayar pajak dicari terus. Itu bukan cari potensi baru, tapi potensi lama diacak-acak melulu,” cetusnya.
Bila itu terjadi, Hariyadi mengimbau kalangan pengusaha untuk kompak memprotes kebijakan tersebut. “Jadi, jangan (pengusaha) ngomel di belakang saja,” ujar dia.
Hariyadi mengingkatkan, jangan sampai kebijakan menggali penerimaan malah kontraproduktif terhadap keinginan pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pemerintah dan pengusaha harus bersinergin dalam perpajakan. Dalam arti, penerimaan negara meningkat tapi iklim usaha tetap kondusif.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan iklim investasi tetap kondusif. Para waib pajak yang sudah memenuhi kewajibannya harus pemerintah layani dengan baik dan mendapatkan kemudahan. Dengan sendirinya, para wajib pajak akan patuh. Penerimaan pajak pun otomatis meningkat. “Jadi, ini dobel dividen, iklim usaha membaik dan penerimaan meningkat. Perlu ada kepercayaan, baik dari fiskus maupun wajib pajak,” imbuh Yustinus.
Ramah terhadap iklim investasi pun belum cukup.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply