Jakarta — Ekonom Faisal Basri menilai Indonesia masih sulit untuk lepas dari impor. Hal itu diungkapkan menanggapi pertanyaan awak media terkait komentar calon Presiden Prabowo Subianto yang ingin menyetop impor.
“Ya nggak mungkinlah (stop impor). Baju sepatunya (Prabowo) saja diimpor. Jadi yang tidak masuk akal gitu, jangan dilanjut-lanjutkan,” ujar Faisal usai menghadiri sebuah acara di Jakarta, Selasa (6/11).
Sebelumnya, di hadapan ulama dan peserta Deklarasi Komando Ulama Pemenangan Prabowo-Sandi (Koppasandi), Prabowo berjanji akan membawa Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan melakukan swasembada.
“Kita tidak akan impor apa-apa saudara-saudara sekalian! Kita harus dan kita mampu swasembada pangan! Mampu! Kita juga harus dan mampu swasembada energi, swasembada bahan bakar,” kata Prabowo di GOR Soemantri Brodjonegoro, Jakarta, Minggu (4/11) lalu.
Menurut Faisal, kampanye calon presiden sebaiknya mengusung gagasan, bukan sekedar komentar untuk mencari sensasi.
Di sektor perdagangan, Indonesia masih memiliki ruang yang lebar untuk melakukan perbaikan.
Meski perekonomian Indonesia tumbuh cukup baik di kisaran 5,17 persen pada kuartal III 2018, sektor perdagangan masih belum bisa berkontribusi secara optimal dalam menopang perekonomian.
Menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi kuartal III mencerminkan fundamental perekonomian yang cukup baik yang ditopang oleh konsumsi dan belanja pemerintah. Investasi juga masih tumbuh meski belum bisa mencapai level tujuh persen.
Kendati demikian, angka pertumbuhan tersebut belum bisa menangkap peluang dari pelemahan rupiah yang terjadi beberapa waktu lalu di mana kurs rupiah sempat tertekan ke level Rp15 ribu per dolar AS. Pasalnya, laju pertumbuhan impor masih lebih kencang dibandingkan ekspor.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS akan membuat harga produk Indonesia menjadi relatif lebih murah di mata internasional. Hal itu terkonfirmasi oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan laju pertumbuhan ekspor Indonesia per September 2018 hanya 1,7 persen secara tahunan menjadi US$14,83 miliar. Sementara, pertumbuhan impor mencapai US$14,60miliar atau tumbuh 14,18 persen.
Pemerintah sendiri telah menyadari permasalahan tersebut. Tak ayal, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo terus meminta pelaku usaha untuk mendorong ekspor disertai dengan insentif.
Di saat yang sama, pemerintah juga melakukan upaya pengetatan impor dengan melakukan perluasan program campuran biodiesel ke minyak Solar sebesar 20 persen, mengerek pajak impor, hingga memperketat masuknya barang impor yang bisa diproduksi di dalam negeri.
Sumber: cnnindonesia.com
Leave a Reply