JAKARTA – Aturan baru formula perhitungan harga kompensasi data informasi wilayah izin usaha pertambangan dan wilayah izin usaha pertambangan khusus dinilai belum tentu dapat langsung menarik investor untuk melakukan eksplorasi mineral dan tambang.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo berpendapat beleid baru formula penghitungan KDI lebih mengedepankan nilai aset teknik. Hal ini karena Kementerian ESDM lebih meletakkan perhitungan nilainya menjadi mempunyai dasar dan mudah apabila dilakukan audit.
“Ini mengingat sebelumnya ESDM telah menerbitkan PP Nomor 81/2919 tentang Jenis dan Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di ESDM,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (20/4/2020).
Menurutnya, perhitungan KDI yang baru tak membedakan WIUP/WIUPK. Perhitungan sangat sederhana sebatas penjumlahan nilai aset teknik yang dimiliki.
Dengan dasar tersebut, Kementerian ESDM melalui Kepmen Nomor 80 K/32/MEM/2020 lebih mendasarkan pertimbangan atas sisi internal kepentingan transparansi audit ke depannya dibandingkan dengan sisi parameter bisnis di sisi investor tambang.
“Pertanyaannya, tidak mudah bagi investor atau kita menilai apakah ini menjadi lebih murah atau tidak, mengingat kita harus tahu terlebih dahulu seluruh aset data teknik yang ada sehingga Tim Lelang ESDM lah yang mengetahui detail perbedaan nilai KDI antara Kepmen yang baru dengan sebelumnya yang terbit di 2018,” kata Singgih.
Kendati demikian, lanjutnya, apabila melihat penghitungan KDI dari per satuan data maka akan terlihat lebih murah dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang ada.
Bagi invesvetor, lanjutnya, tentu bukan akumulasi nilai murah dan tidaknya. Semuanya tetap harus diletakkan pada bisnis industri yang diinginkan investor mineral atau batubara.
Tentu investor akan berhitung atas kebijakan terkait produksi nasional, batasan produksi ke depannya, kebijakan hilirisasi, nilai jual komoditas, interest bank dan juga komparasi dengan kebijakan negara lain untuk investasi minerba.
Singgih menambahkan terdapat beberapa catatan yang penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam beleid baru tersebut yakni terkait perhitungan dengan nilai lelangnya wilayah greenfield atau baru sama sekali.
Hal ini tentu berbeda dengan wilayah brownfield yang telah memiliki data atas kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan. Selain itu, tak semua data yang akan dilelang diandalkan sehingga dikhawatirkan menambah biaya investor dalam kegiatan eksplorasi selanjutnya.
Pemerintah sebaiknya juga memperhitungkan nilai biaya resources cost ataupun reserved cost. Namun demikian nilai discovery cost harus memenuhi standar KCMI (Komite Cadangan Mineral Indonesia) dan tentunya dikeluarkan dan disetujui competent person.
“Bisa jadi semua data tidak diperlukan oleh investor, sehingga apakah semua data harus termasuk nilai KDI atau sebatas data yng diperlukan oleh investor,” ucapnya.
Oleh karena itu, Singgih menilai beleid baru ini belum tentu langsung menjadi menarik bagi investor. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan kacamata memandang dalam menilai KDI untuk WIUP/WIUPK.
“Ini yang harus dicarikan titik temu. Bagi ESDM betul lebih kepada pertanggungjawaban audit, namun bagi investor tentu meletakkan atas dasar parameter bisnis ke depan, baik pasar komoditas, proyeksi harga, kepastian hukum dan tentunya bagaimana negara menerapkan kebijakan atas bisnis pertambangan,” tuturnya.
Kegiatan eksplorasi tambang mineral dan batu bara sangat diperlukan untuk kepentingan pemerintah atas nilai konservasi sumber daya alam (SDA) minerba.
Selain itu, kontribusi industri pertambangan Indonesia terhadap PDB masih cukup besar prosentasenya sehingga perhitungan KDI bagaimanapun harus mampu menarik kacamata investor agar kegitan eksplorasi dapat segera bangkit dengan cepat.
Sumber: bisnis.com
Leave a Reply