JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan memperluas kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 0% untuk sembilan jenis ekspor jasa dari yang sebelumnya hanya tiga. Kebijakan ini ditargetkan dapat diterapkan akhir tahun ini.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Arif Yanuar mengatakan, dalam soal kebijakan ini, pihaknya berkoordinasi dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di mana terkait objek tambahan, penentuannya adalah di BKF.
Dari sisi Ditjen Pajak sendiri lebih ke persoalan teknisnya, yakni dari segi double taxation yang kerap menjadi isu untuk PPN di sektor jasa.
“Tentunya itu juga menjadi kajian dalam perluasan ekspor jasa tersebut,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu (30/9).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, memang PPN 10% atas ekspor jasa selama ini menjadi beban, karena membuat nilai lebih mahal. Selain itu, juga berpotensi double taxation.
“Karena di negara tujuan dikenakan PPN juga. Ini yang perlu ditinjau secara komprehensif,” kata Yustinus kepada KONTAN.
Ia mengatakan, seharusnya pemerintah menerapkan PPN ke prinsip destination, yakni PPN dikenakan di negara tujuan yang memanfaatkan jasa.
Contohnya, untuk jasa telekomunikasi yang dikenakan PPN 10% padahal penyerahannya dari dan ke luar negeri untuk sambungan internasional yang dilakukan orang Indonesia ke orang di luar negeri. Selama ini, jika ada incoming call ke Indonesia, operator membayar PPN atas pemanfaatan JLN.
“Ini sudah sering dikoreksi di pemeriksaan dan Ditjen Pajak kalah di pengadilan dan MA. Harusnya, kembali ke prinsip destination. Kalau tidak, ya double tax. Ketika ada outcoming call, kita pungut 10%, di negara pemberi jasa dipungut lagi 10%. Begitu pula sebaliknya,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Yustinus, hal ini perlu didorong oleh pemerintah. Adapun, ia mengatakan bahwa bila hanya penambahan enam jenis saja, mungkin tidak akan berdampak banyak.
“Sebaiknya memang yang nyata-nyata ekspor dengan kriteria pemanfaatannya di luar daerah pabean, dikenai 0%,” ucapnya.
Yustinus mengatakan, dengan problem Indonesia saat ini, yakni current account deficit dan neraca pembayaran, maka salah satu solusinya adalah meningkatkan ekspor. Ekspor yang ternyata juga defisit adalah jasa karena lebih banyak impor.
“Maka menggenjot ekspor jasa bisa jadi salah satu solusi yang efektif. Ini bagian dari harmonisasi regulasi dan relaksasi sekaligus. Kita juga bisa atraktif jadi hub jasa internasional,” katanya.
Sumber : kontan.co.id
Leave a Reply