Pemerintah memberikan relaksasi atau insentif pajak bagi pelaku usaha di tengah pandemi virus corona. Salah satunya yakni penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan menjadi 22 persen di tahun ini.
Selain itu, pemerintah juga memberikan pembebasan PPh Pasal 21 untuk pekerja di beberapa sektor usaha tertentu, seperti sektor manufaktur dan pariwisata, dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun.
Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai kebijakan insentif pajak tersebut merupakan angin segar di situasi sulit saat ini. Menurutnya, pelonggaran pajak diharapkan mampu menopang ekonomi domestik agar tak terpuruk.
“Situasi sekarang ini memang dibutuhkan relaksasi pajak perseorangan maupun badan, namun besarannya jangan sampai terlalu menggerus penerimaan negara,” ujar Tauhid saat dihubungi kumparan, Senin (13/4).
Pemerintah sebelumnya juga memproyeksi penerimaan perpajakan (pajak san bea cukai) tahun ini akan turun 5,4 persen dari realisasi tahun lalu. Secara rinci, penerimaan pajak diprediksi turun 5,9 persen tahun ini dan bea cukai turun 2,2 persen dibandingkan realisasi tahun lalu.
Kekurangan penerimaan pajak atau shortfall senilai lebih dari Rp 400 triliun di tahun ini. Untuk itu, pemerintah mesti mencari cara untuk menambal penerimaan di sektor lainnya.
Tauhid melanjutkan, pelonggaran pajak akan meningkatkan likuiditas perusahaan, sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk membayar upah pekerja meskipun produksi atau omzet berkurang karena dampak pandemi.
“Paling tidak keputusan ini dapat mendorong perusahaan untuk tidak ikut-ikutan melakukan PHK terhadap karyawannya di tengah situasi ekonomi yang cenderung memburuk,” tambah Tauhid.
Sementara itu, penerimaan cukai dari Industri Hasil Tembakau (IHT) atau rokok sebagai kontributor utama turun sedikit dari target, yakni sebesar Rp 173 triliun menjadi Rp 165,6 triliun.
“Tapi nilai ini (cukai rokok) masih lumayan dalam menyumbang penerimaan negara,” katanya.
Dari sisi bea dan cukai, kata Tauhid, kebijakan relaksasi untuk cukai rokok dinilai sebagai respons positif. Adapun pelonggaran cukai rokok itu meliputi pelayanan dan pengawasan, pelekatan pita cukai yang bisa dilakukan di wilayah pabrik yang berbeda, hingga penundaan survei harga pasar.
“Menurut saya kebijakan ini perlu dilakukan demi perlindungan terhadap pegawai, baik DJBC maupun pelaku industri di tengah situasi COVID-19,” jelas Tauhid.
Meski demikian, pemerintah dinilai perlu melakukan stimulus tambahan untuk mencegah pelaku usaha melakukan putus hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja maupun buruh.
“Yang paling memungkinkan adalah skema pinjaman dengan bunga rendah tetapi tetap prudent, transparan, dan akuntabel,” katanya.
Jika dampak pandemi menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan dan penghasilannya, kata Tauhid, pemerintah sebaiknya menyiapkan kebijakan pemberian jaminan sosial.
“Hal ini berlaku juga pada pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan pelaku sektor informal,” tambahnya.
Sumber: Kumparan.com
Leave a Reply