DPR Pertanyakan Kekuatan Cadev di Tengah Kondisi Wabah Corona

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan kekuatan cadangan devisa (cadev) dalam mendukung perekonomian di tengah tekanan pandemi virus corona. Pasalnya DPR menyoroti posisi cadangan devisa bulan Maret yang mengalami penurunan US$ 9,4 miliar menjadi US$ 121,0 miliar dari posisi Februari US$ 130,4 miliar sementara wabah virus corona belum dapat diprediksi meredanya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Eriko Sotarduga mengatakan berdasarkan data yang disampaikan oleh Menteri Kuangan dan Badan Intelejen Negara (BIN) bahwa puncak penyebaran virus corona akan terjadi pada bulan Mei dan Juni. Sementara saat ini kekuatan masyarakat mulai melemah, padahal corona di Indonesia belum mencapai pick di bulan Mei.

Ia menegaskan jika dihitung tiga bulan dari sekarang, persoalan yang mendasar, jika memang puncak covid-19 baru terjadi di bulan tersebut maka untuk periode pemulihan ekonomi dan bisnis dunia usaha juga membutuhkan waktu tiga bulan.

“Jadi jika dihitung kan 6 bulan dari periode saat ini hingga (pemulihan) September baru mulai bergerak dan ekonomi bulan berjalan, katakana saja kaya hotel dan bisnis lainnya dengan skenario optimistis. Dan jadi perhatian kita semua hingga Desember dan baru tahun depan berjalan normal skenario optimis,” jelas Eriko dalam rapat kerja Komisi XI bersama Bank Indonesia, secara virtual di Jakarta, Rabu (8/4).

Sementara itu, Eriko mengatakan dengan posisi cadev Maret saja sudah menurun US$ 9,4 miliar di posisi US$ 121 miliar, apakah cukup untuk membiayai impor 7 bulan, padahal impor menurun cukup dalam sampai waktu 7 bulan ke depan.

Padahal berdasarkan perhitungannya kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi 3 hingga 4 bulan impor, artinya setengah dari posisi cadangan devisa Maret yakni US$ 60 miliar dolar akan digunakan BI untuk melakukan intervensi.

Di sisi lain penerimaan pajak pun tertekan dan diperkirakannya hanya akan mendapatkan Rp 1700 hingga 1800 triliun dan penerimaan bukan pajak sekitar Rp400 triliun. “Jika bisa dapat 60% saja sudah bagus,” jelasnya.

Berdasarkan perhitungan Eriko, kebutuhan hingga akhir tahun yang dibutuhkan dalam menghadapi Covid -19 mencapai Rp 2000 triliun hingga 2500 triliun.

“Jadi, masih ada kekurangan sekitar Rp1.100 triliun-Rp 1.100 triliun. Apakah dengan cadangan devisa US$121 miliar, setengah bisa digunakan? Sebab setengah cadev sudah digunakan untuk menjaga arus kas impor?,” ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan seharusnya BI memiliki stress test terkait kekuatan cadangan devisa ditengah tekanan covid hingga akhir tahun.

“Apakah memungkinkan dengan kondisi cadev? Kami butuhkan hal ini sebab butuh level confidence jka tidak bisa, kemudian way out gimana?

Eriko menegaskan bahwa (Perppu) peran Menkeu, BI dan OJK merupakan peran sentral , maka perekonomian di tengah pandemi virus corona akan bergantung pada ketiga institusi terpenting dalam menjalankan perekonomian di tengah situasi saat ini.

Sementara itu, Sihar Sitorus, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP mengatakan di tengah wabah virus corona telah menimbulkan kepanikan dan semua orang merenungi memikirkan bagaimana cara mengatasi resesi ini, meskipun Gubernur Bank Indonesia menyatakan tekanan kondisi global akan mereda.

“Tapi bagaimana dengan kondisi lokal gak cepat pulih, sementara kondisi ekonomi agresif dari investor asing atau juga terisolasi saat ini,” jelasnya.

Di sisi lain Bank Indonesia melakukan berbagai instrumen untuk menggairahkan aktivitas bisnis, tetapi kenyatannya masyarakat masih berkegiatan di rumah dikarenakan penyebaran virus corona.

“Kami dengarkan juga dari Bank Indonesia transmisi kebijakan moneter baru akan terasa 6 bulan. Nah gimna jika dalam kondisi saat ini dalam keadaan gak normal ini apakah menunggu 6 bulan, kalau enggak berarti ada kehilangan waktu 2 triwulan cukup besar untuk transmisi ke sektor riil? Apa yang dilakukan BI agar transmisi, khususnya ke UMKM, dapat segera terlaksana?” ujarnya.

Sementara itu dengan posisi cadangan devisa Maret, apakah memungkinkan BI mendorong kegiatan ekspor bertumbuh sebagai buffer tambahan cadangan devisa yang terkena dampak ekonomi dari penyebaran covid-19.

“Lalu apa golden rules perlu siapkan, skenario pesimisnya interest rate inflasi exhange dihadapi ke depan. Harus ada penjelasan minimum yang harus ada berapa, supaya kepanikan tidak terlalu jauh,” katanya.

Menanggapi pernyataan DPR, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengungkpkan bahwa posisi cadangan devisa akhir Maret 2020 sebesar US$ 121 miliar, masih relatif stabil dan lebih dari cukup.

Apalagi ditambah penerbitan global bond oleh pemerintah yang menunjukkan bahwa investor masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap Indonesia di tengah pandemi virus corona.

Ia mengatakan jika posisi cadangan devisa meningkat maka rupiah akan bergerak stabil dan menguat disertai derasnya aliran modal asing masuk pada kuartal IV seiring dengan meredanya permasalahan covid-19. Bahkan hingga akhir tahun, Perry optimistis rupiah akan menguat di Rp 15.000 , disertai dengan langkah stabilisasi.

“Kami percaya bahwa inflow akan masuk memang akan naik turun pada triwulan II mungkin sebagian pada triwulan III sebab kondisi global tidak menentu. Tapi prediksi kami pada triwulan IV permasalahan covid mereda dan ada kecenderungan inflow masuk dan akan naik sejalan mereda global dan akan mendorong penguatan rupiah ke depan” jelas Perry.

Penurunan cadangan devisa Maret, karena digunakan untuk pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo pada Maret 2020 sebesar US$ 2 miliar dan sebesar US$ 7 miliar digunakan untuk memasok valas di pasar keuangan, di saar terjadi kepanikan global karena wabah covid-19 yang meluas secara cepat,sehingga mendorong investor melepas saham dan obligasi.

“BI kemudian cenderung menjadi suplier atau pemasok sendiri, itu bagian dari komitmen kami, di saat kondisi extraordinary,” imbuhnya.

Selain itu, ia menegaskan meski cadev masih lebih dari cukup, akan tetapi BI selalu memiliki second line of defense, namun Bank Indonesia belum berencana untuk menggunakannya sebab opsi tersebut belum dibutuhkan.

Menurutnya BI memiliki bilateral currency swap arrangement (BCSA) dengan sejumlah negara, yang nilainya bervariasi. Dengan Tiongkok, nilainya (ekuivalen) US$ 30 miliar, Jepang US$ 22 miliar, Singapura US$ 7 miliar, dan Korea Selatan sekitar US$ 10 miliar. Kemudian Perry menjelaskan bahwa BI juga memiliki komitmen dari Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) untuk mendapatkan dolar AS melalui repo line dalam kerangka Foreign and International Monetary Authorities (FIMA) senilai US$ 60 miliar guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

“Kami punya second line defense jika diperlukan, kami merasa cukup tapi kami sedikana payung jika dibutuhkan. Posisi Cadev cukup dan belum akan menggunakan dan kami sampaaikan food of confidence” tegas Perry.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only