Kejar Pajak Google Cs, Ini Strategi Jitu & Baru Sri Mulyani

Jakarta, – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pajak perusahaan teknologi raksasa dunia seperti Google, Facebook, dan sejenisnya dapat dipungut pajak berdasarkan nilai ekonominya (economics value).

Penghitungan kewajiban pajak bukan dalam bentuk suatu perusahaan (permanent establishment) atau Badan Usaha Tetap (BUT).

“BUT sendiri tetap akan sama redefinisinya tapi berapa kewajiban mereka membayar pajaknya tidak lagi diterapkan berdasarkan ada atau tidaknya BUT tetapi berdasarkan seberapa banyak mereka mendapatkan economic value di suatu negara,” jelas Sri Mulyani di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rabu (12/6/2019).

Sri Mulyani menegaskan karena Google, Facebook dan lain-lain merupakan perusahaan digital maka Pemerintah akan melihat seberapa banyak perusahaan tersebut menghasilkan nilai. Itu yang disebut dengan economic present.

“Itu yang akan dijadikan salah satu dari berbagai macam approach,” ujarnya.

Sebenarnya, kata Sri Mulyani, ada berbagai macam pendekatan yang bisa digunakan dalam pemungutan pajak perusahaan digital. Dalam pertemuan tingkat menteri keuangan negara G20 yang digelar pada akhir pekan lalu di Fukuoka, Jepang, pihaknya memperjuangkan International Taxation di mana kata ‘economics present‘ sudah disepakati.

Hanya saja hal itu belum bisa diimplementasikan karena berhubungan dengan fair taxation right. “Bagaimana bagi perpajakan secara adil antara mereka headquarter maupun di daerah mereka beroperasi,” ucap Sri Mulyani.

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan basis pemungutan pajak bagi perusahaan teknologi raksasa untuk Indonesia. Inggris dan Perancis, lanjut Sri Mulyani, telah melakukan pemungutan pajak secara unilateral di mana keduanya sudah memiliki pendekatan (pemungutan pajak) yang disepakati.

“Inggris sudah menyepakati sendiri basis pajaknya mereka di Perancis juga mereka membuat sendiri berdasarkan economics present. Dan bahkan di Perancis untuk menghubungkan data mereka pun menjadikannya sebagai basis pajak,” jelasnya.

Namun, Inggris dan Perancis nantinya juga akan menyesuaikan dengan pendekatan yang disepakati oleh G20. Meski sudah memiliki pendekatan sendiri, nantinya kedua negara itu akan mengkonversi pendekatan menjadi sesuai kesepakatan yang bersifat global.

Indonesia sendiri meski belum memiliki pendekatan internasional, dari Ditjen Perpajakan akan melakukan pemungutan pajak berdasarkan pendekatan yang dianggap bisa merepresentasikan value dari kewajiban perusahaan teknologi tersebut.

“Jadi untuk perusahaan yang dianggap digital, teman-teman Pajak punya basis untuk menghitung nya. Ini kewajiban yang menurut teman-teman pajak estimasi nya seperti ini dan mereka akan counter tentu saja berdasarkan data mereka,” kata dia.

Indonesia juga tidak perlu menanti konsensus global untuk menentukan pendekatan. Menurut Sri Mulyani, penerimaan pajak harus tetap ada. Dalam pertemuan G20 lalu Sri Mulyani mengaku sempat menyatakan bahwa bahkan sebelum ada konsensus tiap negara berhak membuat pendekatan yang dianggap adil.

“Ya itu artinya we have the basis untuk tetap bisa mengumpulkan data itu. Jadi, teman-teman pajak melakukan estimasi tentu teman pajak tidak boleh mengambil angka dari langit. Tapi basisnya apa. Mereka punya informasi yang mensupport itu. Baik itu sales, advertisement maupun record lain dan akan disampaikan kemudian kewajiban pajaknya,” paparnya.

Pada 1 April 2019 lalu, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Beleid tersebut mengatur mengenai kewajiban perpajakan bagi perusahaan atau orang asing yang berbisnis di Indonesia, baik perusahaan konvensional maupun yang beroperasi secara digital.

Dalam hal ini, perusahaan teknologi asing itu harus mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT) yang memiliki nomor pokok wajib pajak.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only