Ramai-ramai Berharap Ditjen Pajak ‘Cerai’ dari Kemenkeu

Mulai dari pengamat perpajakan, asosiasi pengusaha, hingga kedua calon Presiden memiliki pandangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebaiknya menjadi institusi independen. Dengan kata lain, dipisahkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Managing Partner DDTC, Darussalam menjelaskan, terdapat beberapa alasan mengapa DJP perlu memisahkan diri dari Kementerian Keuangan.

Pertama, karena pajak menjadi sektor yang berkontribusi besar dalam penerimaan negara. Bahkan, kontribusinya mencapai 72% dari total penerimaan negara. Dengan demikian, sudah sepantasnya jika DJP menjadi institusi independen.

“Bagaimana mungkin lembaga otoritas pajak Indonesia yang mengelola lebih dari 72% penerimaan APBN, tidak selevel dengan Kemenkeu,” jelasnya dalam diskusi perpajakan di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (4/4/2019).

Ramai-ramai Berharap DJP ‘Cerai’ dari KemenkeuFoto: Diskusi Publik Indeks Ketaatan Pajak (CNBC Indonesia/Iswari Anggit)

Kedua, ia menilai DJP kurang leluasa dalam menentukan keputusan maupun kebijakan, padahal target penerimaan pajak selalu bertambah setiap tahun. Kondisi ini menurutnya menyebabkan terjadi diskresi, seperti diskresi organisasi, diskresi sumber daya manusia (SDM), dan diskresi anggaran.

Yang ia maksud dengan diskresi organisasi ialah, ketidakmampuan DJP mengikuti perkembangan sektor bisnis, karena untuk menentukan keputusan atau kebijakan perlu persetujuan Kementerian Keuangan. Jika DJP menjadi institusi independen, tentu bisa menentukan keputusan atau kebijakan yang lebih fleksibel.

“Pertama terjadi diskresi dalam hal organisasi, kalau saya bilang DJP dalam hal organisasi itu bajunya sudah sempit. Perubahan cara orang berbisnis sangatlah cepat, bagaimana mungkin otoritas berubah cepat juga kalau sedikit-sedikit perlu minta persetujuan, harus sesuai aturan yang ada.”

Diskresi organisasi ini rupanya berkaitan dengan diskresi kedua yakni, diskresi SDM. Darussalam menyebutkan; jangankan menentukan keputusan atau kebijakan, dalam proses rekrutmen tenaga kerja saja DJP tidak fleksibel. Padahal, sudah seharusnya orang-orang yang bekerja di DJP merupakan tenaga profesional yang merangkul seluruh stakeholder.

Dengan demikian, ketika menerapkan aturan bisa jauh dari kepentingan politik, juga lebih mudah diterima karena tenaga kerjanya telah mewakili seluruh stakeholder.

“Kedua, diskresi dalam hal sumber daya manusia. Saya bayangin ke depan, sumber daya manusia kita diisi orang profesional, kalau ada di luar, ya ditarik masuk untuk memperkuat otoritas pajak. Dengan kondisi sekarang tidak mungkin para orang hebat direkrut, karena rekrutmen harus dari bawah.”

“Yang benar ini seperti di Singapura, di Hong Kong, pajak dipimpin oleh sekumpulan komisioner, dari wakil akademisi, asosiasi pengusaha, sehingga organisasi pajak ini merangkul semua stakeholder yang ada. Sehingga tidak adalagi peraturan belum diterapkan, sudah dicabut [seperti PMK 210/2018].”

Terakhir diskresi anggaran. Jika menjadi institusi independen, DJP bisa menentukan keputusan atau kebijakan organisasinya sendiri, termasuk urusan anggaran. Hal ini berguna ketika DJP sudah berhasil merekrut tenaga kerja profesional. Remunerasi tinggi tentu diperlukan agar tenaga kerjanya bisa tahan dari iming-iming bekerja di luar negeri.

“Ketiga diskresi dari sisi keuangan, anggaran. Bagaimana orang terbaik di DJP bisa tahan dengan iming-iming mereka kerja di luar? Remunerasi orang juga dipertimbangkan, menurut saya itu salah satu cara menempatkan kelembagaan pajak di tempat semestinya.”

Pandangan serupa juga diutarakan oleh Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center, Ajib Hamdani. Ia menyebutkan kedua calon presiden sama-sama memiliki kesadaran akan pentingnya memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan. Hal ini karena kedua calon presiden tahu dunia usaha membutuhkan kebijakan pajak yang lebih fleksibel.

“Jadi begini, kalau saya ingin menukik ke pembahasan program dua calon sama-sama punya gagasan bagus, sama-sama positif bahwa pajak harus lepas dari Kemenkeu, janji nawacita [konsep Presiden Joko Widodo] sama seperti yang juga disampaikan Bang Sandi. Ini bagian fleksibility.”

“Calon presiden nomor urut 02 dari tahun 2013, Pak Prabowo dengan Gerindra punya 8 aksi transformasi bangsa, kemudian berubah jadi 6 aksi transformasi bangsa. Itu mendetailkan, salah satunya tax ratio. Luar biasa konsepnya sangat detail. Punya gagasan besar tapi dijabarkan dalam tataran teknis. Tapi dia tidak jadi presiden. Konsepnya bagus tapi tidak pegang kewenangan jadi tidak punya daya eksekusi.”

“Kemudian, dari tahun 2014-sekarang [pemerintahan Presiden Joko Widodo] banyak insentif fiskal yang sudah dieksekusi dengan baik. Contohnya dulu bunga UKM KUR itu bisa 12%, lalu turun 9%, dan turun lagi 7%.”

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only