Terengah-engah Menggenjot Setoran Pajak

JAKARTA. Tantangan pemerintah dalam mengejar penerimaan pajak tahun ini kian berat. Shortfall penerimaan pajak pada tahun 2024 yang diperkirakan lebih lebar menjadi persoalannya.

Tak samapai disitu, keputusan pemerintah untuk mengerek tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% hanya untuk barang mewah juga membuat potensi penerimaan menjadi jauh lebih rendah. Di sisi lain, diluar Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah justru punya pengeluaran tambahan untuk membiayai berbagai insentif fiskal di dua bulan pertama tahun ini.

Dalam APBN 2025, Pemerintah memasang target penerimaan pajak Rp 2.189,3 triliun. Angka ini naik 10,08% dibandingkan target APBN 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun. Namun angka itu naik 13,91% dibandingkan outlook penerimaan pajak 2024 yang sebesar Rp. 1.9219,9 triliun.

Mengacu data Kementrian Keuangan (Kemekeu), realisasi penerimaan pajka hingga akhir November 2024 sebesar Rp 1.688,93 triliun atau baru setara 84,92% dari target.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco menyatakan, pendapatan penerimaan untuk APBN 2025, usai menerapkan kebijakan terbaru diperhitungkan hanya Rp 3,2 triliun. Padahal potensi penerimaan negara jika PPN 12% berlaku pada semua barang dan jasa mencapai 75%.

Direktur Eksekutif Indonesia Economics Fiscal (IEF) Research Instittute Ariawan Rahmat memproyeksikan penerimaan pajak hingga akhir 2024 tak akan beranjak jauh dari pencapaian akhir November lalu. “Mungkin hanyaakan mencapai kurang lebih kisaran 80%, mengigat 2024 adalah tahun yang berat untuk mendongkrak penerimaan pajak,”ujar dia, kemarin.

Jika realisasi penerimaan pajak 2024 sesuai outlook, maka shortfall tahun lalu akan mencapai Rp 67 triliun. Namun jika sesuai proyeksi Ariawan, maka shortfall pajak 2024 akan lebih lebar lagi.

Alhasil kata Ariawan Ditjen Pajak akan semakin sulit dalam mrnghimpun penerimaan pajak pada tahun depan. Terlebih, pemerintah masih menghadapi tantangan klasik yang menghambat penerimaan.

Tantangan yang dimaksud adalah kelemahan regulasi perpajakan, rendahnya tingkat kesadaran, pengetahuan dan ekonomi, basis data yang belum sepenuhnya terintegrasi dan akurat, penegakan hukum masoh lemah, penghinadaran pajak serta perlakuan pajak yang tidak selalu adil.

Tantangan lainnya adalah perubahan demografi dan struktur ekonomi global yang masih tidak menentu. “Oleh karena itu, cara untuk menambal kebutuhan anggaran di 2025, pemerintah mesti bekerja extra effort,”kata dia”

Kepala Riset Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan dari outlokk 2024 ke target APBN 2025, dibutuhkan tambahan penerimaan pajak yang tak sedikit. Hitungan KONTAN, tambahan penerimaan pajak itu mencapay Rp 267,4 triliun. “Ini berat sekali. Rata-rata sebelum pandemi, tambahan penerimaan pajak setiap tahunnya hanya Rp 86,82 triliun,” kata Fajry kepada KONTAN, kemarin.

Meski di tahun 2022, ada tambahan penerimaan sebesar Rp 439,23. triliun, saat itu ada kebijakan yang tak berulang seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS), kenaikan tarif PPN menjadi 11%, dan kenaikan harga komoditas.

Menurut Fajry, untuk menambal penerimaan 2025, pemerintah bisa mengejar pajak dari underground economy. Fajry dan Ariawan juga mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan pajak minimun bagi kelompok kaya yang belum patuh.

Sumber : Harian Kontan, Kamis 2 Januari 2024.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only