Pemerintah diminta memitigasi efek penerapan tarif PPN 12% terhadap masyarakat rentan
JAKARTA. Gelombang penolakan atas pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% masih terus bergulir. Hingga berita ini diturunkan, petisi berjudul Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN! yang diinisiasi kelompok Bareng Warga di platform Change.org, telah diteken 194.951 warganet sejak pertama kali digagas pada 19 November 2024.
Menurut Bareng Warga, salah satu penggagas petisi, kenaikan tarif PPN 12% diperkirakan akan mendorong lonjakan harga barang dan jasa sehingga semakin menggerus daya beli masyarakat. Hingga saat ini, petisi penolakan masih terus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, yang berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai kebijakan PPN 12% berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia. Sebab, PPN dianggap lebih regresif dibandingkan pajak penghasilan (PPh). Tarif PPN dinilai membebani orang miskin lebih berat daripada orang kaya.
“PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal. Setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Yusuf.
Berdasarkan data estimasi pengeluaran rumah tangga tahun 2023, meski tarif PPN masih 11%, beban pajak yang ditanggung oleh konsumen miskin mencapai 5,56% dari pengeluaran mereka, sementara konsumen kelas atas hanya menanggung 6,54%.
Oleh karena itu, beban PPN yang hampir merata ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12% akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah.
Simulasi Next Policy juga menunjukkan beban PPN terbesar justru ditanggung kelas menengah. Dari total beban PPN sekitar Rp 294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8% atau Rp 120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8% dari total jumlah penduduk. “Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini,” tegas dia.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mencermati hingga kini yang turut berperan menggerakkan konsumsi adalah kalangan menengah ke atas.
Dia mengatakan barang dan jasa yang disasar pemerintah seperti beras premium, daging premium, jasa kesehatan premium dan lainnya yang selama ini tidak dikenakan PPN. Artinya, jika tahun 2025 barang dan jasa tersebut akan langsung mengalami lonjakan PPN 12% bukan hanya 1%. “Padahal kelas menengah atas ini yang juga mendorong perekonomian, kalau itu juga dipukul PPN 12%, semua akan menghentikan konsumsinya,” ungkap Yose di acara B-Talk Kompas TV, Selasa (24/12).
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah menjelaskan, kebijakan tarif PPN 12% adalah amanat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun dia mengingatkan pentingnya mitigasi risiko untuk mencegah dampak negatif kenaikan PPN terhadap kelompok masyarakat rentan.
Said menyarankan pemerintah melakukan beberapa langkah mitigasi, antara lain memperluas perlindungan sosial bagi rumah tangga miskin dan hampir miskin, serta memastikan program ini disampaikan tepat waktu dan tepat sasaran. Subsidi BBM, elpiji 3 kg, serta listrik untuk rumah tangga miskin diperluas hingga rumah tangga menengah, termasuk driver ojek online tetap mendapatkan jatah pengisian BBM bersubsidi, bahkan bila perlu menjangkau kelompok menengah bawah.
Pemerintah juga perlu memberikan subsidi transportasi umum di kota besar. “Bantuan untuk pendidikan dan beasiswa perguruan tinggi dipertebal yang menjangkau lebih banyak penerima manfaat, khususnya siswa berprestasi dari rumah tangga miskin hingga menengah,” ucap Said.
Sumber : Harian kontan Jumat 27 Desember 2024 hal 2
Leave a Reply