Kebijakan pemerintah untuk tetap meningkatkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dipandang sebagai jalan tengah yang perlu diambil dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
Founder DDTC Darussalam mengatakan pemerintah bisa memilih untuk menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) ataupun mengurangi fasilitas pembebasan PPN. Namun, langkah tersebut tidak diambil demi melindungi UMKM dan masyarakat rentan.
“Ketika kita bicara kebijakan PPN, kita harus lihat 3 hal [tarif, threshold PKP, dan fasilitas]. Banyak negara yang tarif PPN-nya di bawah kita, tapi batasan untuk memungut PPN di bawah Rp4,8 miliar,” katanya dalam detikSore, Senin (16/12/2024).
Sebagai informasi, pelaku usaha baru diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP dan memungut PPN jika omzetnya dalam setahun sudah Rp4,8 miliar atau lebih. Threshold senilai Rp4,8 miliar tersebut jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata global senilai Rp1,6 miliar.
“Indonesia bisa saja tarif tidak perlu naik, tapi Rp4,8 miliar itu diturunkan. Rata-rata dunia itu Rp1,6 miliar. Katakan Indonesia turunkan ke Rp2 miliar, nanti banyak pengusaha yang diminta memungut PPN. Jadi, barangnya kena pajak,” ujar Darussalam.
Saat ini, pembebasan PPN telah diberlakukan atas beragam jenis barang dan jasa seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa sosial, dan lain-lain.
Darussalam menekankan bahwa PPN seharusnya bersifat netral, yang artinya dipungut atas setiap penyerahan barang dan jasa. Namun, pemerintah memilih untuk tidak mengenakan PPN atas barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Secara konseptual PPN sesungguhnya pajak yang tidak adil. Namun, pemerintah memilih untuk mencoba berlaku adil dengan memberlakukan beragam pembebasan PPN atas barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelompok rentan.
Meski PPN diputuskan untuk tetap naik pada tahun depan, perlu diingat bahwa kebijakan ini banyak diwarnai oleh banyak penolakan dari publik. Oleh karena itu, Darussalam berpandangan pemerintah perlu memperbaiki komunikasi publik terkait dengan kenaikan tarif PPN.
“Yang terpenting adalah bagaimana kita menarasikan, itu yang masalah di republik ini. Bagaimana rakyat merasakan pajak sehingga kita sukarela membayar pajak, bukan pajak yang dipaksakan untuk bayar. Skandinavia pajaknya tinggi, tetapi bahagia. Mengapa? Karena benar-benar dirasakan,” tutur Darussalam.
Momentum kenaikan tarif PPN juga perlu dimanfaatkan pemerintah untuk mulai menerapkan earmarking dengan mengalokasikan sebagian penerimaan PPN khusus untuk program-program kesejahteraan sosial.
Contoh, Italia mengalokasikan 38,5% dari penerimaan PPN untuk jaminan sosial kesehatan bagi penduduk. Indonesia seyogianya bisa menerapkan hal yang sama.
Sumber : news.ddtc.co.id
Leave a Reply