Jakarta. Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12 persen yang diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) 2021 akan berlaku mulai awal 2025. Pemerintah memilih menaikkan tarif hanya untuk barang mewah agar tidak membebani masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, barang mewah yang dianggap kebutuhan tersier yang dikonsumsi oleh kelompok dengan daya beli tinggi.
Founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menjelaskan, bahwa PPN menunjukan ketidakadilan karena memiliki sifat tidak membedakan subjek pembayar pajak dan regresif terhadap penghasilan. Namun, sifat PPN yang netral dan mudah diterapkan membuatnya tetap menjadi salah satu sumber penerimaan pajak yang diandalkan oleh negara.
Regresif tersebut dimaksudkan pada beban pajak lebih berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi. Sementara PPN dikenakan pada objek konsumsi, bukan pada subjek pajaknya (individu pembayar pajak). Artinya, PPN tidak membedakan siapa yang membeli atau menggunakan barang/jasa.
“Kalau kita bicara PPN, pada dasarnya dikenakan atas objeknya tanpa perhatikan siapa yang membeli atau siapa yang menggunakan jasa tersebut, sehingga ketika dikenakan kepada objeknya, maka PPN itu secara dasar filosofi dia bersifat tidak adil,” kata Darussalam, dalam sesi wawancara di IDTV, Selasa, (10/12/2024)
Ia melanjutkan, dasarnya kenaikan PPN 12 persen memang sudah tidak adil, karena dia tidak memperhatikan siapa yang beli barang tersebut, dan siapa yang menggunakan jasa tersebut.
“Maka, kalau kita berdiskusi berdebat PPN itu adil atau tidak naik 12 persen, itu adil atau tidak dasarnya memang PPN tidak adil,” ucap dia.
Adapun dampak kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan lebih terasa pada masyarakat berpenghasilan rendah, karena cenderung menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi barang/jasa jika berlaku barang/jasa tarif PPN tunggal.
Namun, untuk mengurangi ketidakadilan, atau sifat regresi atas PPN, pemerintah memfokuskan pada barang-barang mewah, yang lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas atau golongan kaya.
“Kontribusi PPN di Indonesia angkanya hampir 41% dari total penerimaan pajak. Ini ini yang yang harus kita ketahui bersama, kenapa PPN harus naik 12 persen, kenapa hanya barang mewah saja perbedaan tarif PPN ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sejarah, sehingga membuat bingung masyarakat,” ucap dia.
Sementara itu, UU HPP tidak disebutkan bahwa PPN 12 persen untuk barang mewah, bagaimana membedakan barang mewah kena pajak 12 persen dan yang bukan.
“Ini kan sudah diputuskan antara DPR dan pemerintah juga sudah diumumkan, saya pikir kita sendiri agak terkejut akhirnya PPN ini tetap dikenakan 12 persen hanya atas barang mewah saja,” tandas Darussalam.
Ketidakadilan dalam kenaikan PPN jadi 12 terutama muncul karena sifat PPN yang tidak membedakan subjek pembayar pajak dan regresif terhadap penghasilan.
Namun, sifat PPN yang netral dan mudah diterapkan menjadi kehendak pemerintah tetap menaikan salah satu sumber penerimaan pajak yang diandalkan negara, yakni PPN jadi 12 persen. Upaya pemerintah memitigasi ketidakadilan tersebut, dengan cara memberikan pengecualian maupun pengurangan tarif pada barang/jasa yang dianggap esensial.
Sumber : beritasatu.com
Leave a Reply