Jakarta, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengeluarkan aturan tentang pajak e-Commerce, sehingga bisa tercipta level playing field atau kesetaraan antara pebisnis onlinedan offline.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-Commerce).
Dalam aturan yang efektif berlaku mulai 1 April 2019 tersebut, ruang lingkup pengaturan pajak meliputi Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan atas transaksi di dalam Daerah Pabean, dan bea masuk dan/atau Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) atas impor barang.
Roy mengatakan, tidak hanya transaksi perdagangan melalui e-Commerce saja yang harus dikenakan pajak. Transaksi yang banyak dilakukan di media sosial (medsos) seperti Instagram dan Facebook juga harus dikenakan pajak. Pasalnya, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur transaksi perdagangan melalui medsos.
“Transaksi lewat medsos harus cepat punya aturan. Transaksinya kan kebanyakan tidak melalui mekanisme alat pembayaran resmi di Indonesia. Tidak memakai debit, tidak memakai kartu kredit, tidak transfer, tetapi cash on delivery (COD). Penjualnya kirim pakai kurir, kemudian kurirnya langsung menarik uang ke konsumen. Ini yang tidak ada aturannya dan tida bisa ditoleril, kata Roy Nicholas dalam acara Future Commerce Indonesia 2019, di Jakarta, Selasa (29/1).
Roy juga berharap perlu segera dikeluarkan Undang-undang (UU) khusus yang mengatur tentang transaksi di e-Commerce. Pasalnya, selama ini trasaksi di e-Commerce masih mengacu pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Kami meminta untuk segera dikeluarkannya UU e-Commerce di Indonesia. Untuk perdagangan, secara keseluruhan sudah ada UU Nomor 7 Tahun 2014, sementara e-Commerce masih menggunakan UU ITE, bukannya UU yang khusus,” kata Roy.
Dengan adanya UU e-Commerce, Roy berharap nantinya kesetaraan antara bisnis online dan offline bisa sama layaknya yang terjadi di beberapa negara, sehingga memiliki standar pelayanan yang sama bagi konsumen.
“Misalnya saja Standar Nasional Indonesia (SNI) yang juga harus diterapkan untuk produk-produk yang dipasarkan di platform online, terutama untuk produk-produk dari luar negeri,” pungkas Roy.
Sumber : beritasatu.com
Leave a Reply