Mudiknya Devisa Hasil Ekspor SDA

Gejolak perekonomian global pada 2019 akan semakin tinggi intensitasnya. Itu tak hanya dipicu oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China saja, tapi berpotensi melibatkan banyak negara. Selain itu, normalisasi kebijakan moneter AS akan mengerek likuiditas di negara emerging market keluar menuju Negara Paman Sam.

Volatilitas harga komoditas perdagangan utama global juga semakin tinggi. Guncangan ekonomi silih berganti: belum selesai dalam satu masalah, masalah lain muncul dan sulit diprediksi. Perekonomian global mengalami risiko disrupsi. Tanpa bantalan perekonomian yang kuat, Indonesia bisa terseret dalam arus ketidakpastian ekonomi.

Meski bisa tumbuh dengan baik, diprediksi mencapai 5,18% pada tahun 2018. Namun, indikator daya tahan ekonomi, seperti neraca transaksi berjalan atau current account masih terancam dengan angka defisit yang semakin tinggi. Pada triwulan III-2018 defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) membengkak dari US$ 8 pada triwulan II-2018 menjadi sekitar US$ 8,8 miliar. Angka ini telah mencapai 3,37% dari produk domestik bruto (PDB).

Kita tak memiliki cukup banyak waktu untuk melakukan mitigasi. Apa lagi rugang intervensi semakin terbatas, karena masalahnya semakin kompleks. Kita hanya bisa meredam gejolak jangka pendek, tapi jangka menengah dan panjang belum ada desain kebijakan yang komprehensif mengatasi gejolak itu. Misalnya, baru-baru ini kita bisa meredam pelemahan nilai tukar rupiah dengan intervensi kebijakan moneter. Namun, daya redam hanya sesaat dan membutuhkan biaya tinggi, seperti menguras cadangan devisa.

Langkah penyelamatan pun terpaksa memutar haluan kebijakan fiskal dan sektor riil pemerintah. Orientasinya bukan lagi pada pertumbuhan namun menjaga stabilitas. Salah satunya adalah kebijakan penundaaan proyek pembangunan infrastruktur. Langkah itu dilakukan untuk menekan impor yang disinyalir nilainya besar sehingga berkontribusi melebarkan defisit neraca transaksi berjalan. Tak ayal, itu akan menekan pertumbuhan ekonomi.

Masalah defisit neraca transaksi berjalan pada tahun 2019 masih menghantui perekonomian nasional. Malahan, episentrum masalahnya semakin lebar, bukan saja bersumber dari defisit eraca perdagangan sektor migas dan tekanan ekspor non migas, namun juga disebabkan oleh tingginya pelarian modal keluar (modal outflow) dan tersendatnya arus modal masuk (capital inflow).

Portofolio investasi langsung dari luar negeri atau foreign direct investment diprediksi tertahan karena investor akan wait and see karena adanya hiruk-pikuk pesta demokrasi pada 2019. Di sisi lain, arus modal keluar semakin deras dengan adanya normalisasi kebijakan moneter AS.

Bila itu terjadi, dampak terhadap rupiah akan semakin tinggi. Nilai tukar berisiko terdepresiasi lebih dalam. Itu berdampak terhadap banyak hal, seperti inflasi, daya saing investasi, risiko gagal bayar utang (default), daya beli, dan kebangkrutan dunia usaha.

Agar itu tak terjadi, pemerintah memitigasi dini dengan mengeluarkan paket Kebijakan Ekonomi XVI. Ada tiga kebijakan yang termasuk di dalam PKE ii, yaitu perluasan fasilitas pengurangn pajak penghasilan badan (tax holiday), relaksasi daftar negatif investasi (DNI), dan peningkatan devisa hasil ekspor (DHE) hasil sumber daya alam atau SDA.

Insentif dan Disinsentif

Dari tiga kebijakan itu, yang paling relevan dan cepat untuk memitigasi risiko dampak defisit neraca transaksi berjalan adalah peningkatan DHE hasil SDA (pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan). Kita maklum bahwa selama ini banyak DHE hasil SDA uang diparkir di luar negeri, terutama di negara suaka pajak. Ini merupakan kerugian besar karena likuiditas dollar AS tak mengalir ke dalam negeri. Padahal kalau DHE itu masuk ke sistem keuangan Indonesia dan dikonversi ke rupiah dampaknya terhadap keseimbangan nilai tukar bisa lebih baik.

Merujuk ke data ekspor untuk empat sektor itu mencapai US$ 75,3 miliar. Nilai itu setara dengan 49,1% total ekspor non migas Indonesia. Jika ditambahkan ekspor minyak bumi dan gas bumi, total ekspor menjadi US$ 91 milliar atau 53,9% dari total ekspor Indonesia.

Rupiah bisa semakin berotot jika semua DHE hasil SDA itu mudik ke dalam negeri dan dikonversi ke rupiah. Tapi hal itu tak terjadi. Catatan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, baru 93% devisa hasil ekspor sudah mudik ke Indonesia, namun yang sudah dikonversi menjadi rupiah baru 15%.

Kebijakan peningkatan DHE hasil SDA menyisir masalah ini. Terdapat tiga elemen penting dari kebijakan ini, yaitu penegasan kewajiban DHE hasil SDA masuk ke dalam sistek keuangan Indonesia, pemberian insentif lewat Pajak Penghasilan (PPh) final bagi pelaku usaha yang memasukan DHE nya ke dalam negeri dan mengkonversi ke rupiah serta pengenaan sanski administratif kepada eksportir yang tidak memasukan DHE.

Untuk insentif PPh Final ketentuannya adalah: DHE yang ditempatkan dalam rekening khusus di bank devisa dan dikonversi ke rupiah dikenakan PPh Final sebesar 7.5% untuk 1 bulan, 5% untuk 3 bulan, dan 0% untuk 6 bulan atau lebih. Sedangkan DHE yang ditempatkan bank devisa namun tak dikonversi ke rupiah dikenakan PPh Final sebesar 10% untuk 1 bulan, 7,5% untuk 3 bulan, 2,5% untuk 6 bula, dan 0% untuk lebih dari 6 bulan.

Selain insentif PPh Final, kebijakan ini juga memberikan sanksi bagi pelaku usaha. Sanksinya berupa tidka dapat melakukan ekspor, denda, dan/atau pencabutan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya mekanisme insentif dan disinsentif, pelaksanaan kebijakan ini akan lebih menimbulkan daya tarik bagi pelaku ekspor.

Meski demikian, pelaku usaha perlu memberikan respon positif. Ini bukan soal untung-rugi, namun bagaimana pelaku usaha juga berkontribusi terhadap masalah perekonomian nasional. Menempatkan DHE di negara suaka pajak bukanlah tindakan elok saat ini. DHE perlu segera mudik dan segera dikonversi ke rupiah agar rupiah bisa jemawa di hadapan mata uang lain dan turbulensi ekonomi global tak parah menghantam perekonomian nasional.

Tindakan tegas juga diperlukan dari pemerintah. Bagi pelaku usaha yang melanggar harus diberikan sanksi yang tegas. Itu menjadi efek jera bagi pelaku usaha. Pada akhirya, butuh kerjasama semua stakeholder dalam menghadapi tantangan ekonomi 2019 yang semakin berat. Hentikan silang sengketa, mari kita bahu-membahu memberikan solusi bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional.

Sumber: Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only