JAKARTA. Kebijakan ekonomi ekspansif yang direncanakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, termasuk penurunan pajak korporasi dan penghasilan berpotensi berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Peneliti di Departemen Komunikasi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi menilai, langkah tersebut dapat memengaruhi dinamika utang, perdagangan, dan nilai tukar di negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan AS, termasuk Indonesia.
Menurut Dandy, meskipun penurunan pajak ini terlihat menguntungkan dalam jangka pendek, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan tekanan lain, seperti inflasi yang di tinggi di AS.
“Tadi seakan-akan Presiden Trump bilang bahwa penurunan pajak ini akan dibayar oleh negara lain dengan tarif yang akan kita dapatkan. Which is totally true be true. Dan ini dalam sisi akademisnya tidak benar,” ujar Dandy dalam Media Briefing, Selasa (21/1).
Dalam jangka pendek hingga menengah, tekanan inflasi yang tinggi di Amerika Serikat diprediksi masih akan berlangsung. Hal ini perlu menjadi perhatian, terutama bagi negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan atau utang dalam mata uang dolar AS.
“Cuman itu adalah hal yang populis yang selalu didudukkan oleh Trump. Padahal apabila peningkatan tarif ini benar-benar terjadi, kita tahu sendiri bahwa konsumen AS yang sebenarnya akan membayar peningkatan tarif itu lebih mahal, sehingga kita melihat dalam short term dan medium term, mungkin tekanan inflasi masih akan tinggi di AS,” imbuhnya.
Dandy juga menekankan bahwa kebijakan ekspansif semacam ini dapat memperkuat nilai tukar dolar AS. Namun, hal ini juga memiliki konsekuensi bagi negara lain, termasuk Indonesia, yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.
“Ini akan berlanjut sehingga perlu diwaspadai misalnya utang swasta atau publik yang memiliki nominal dolar AS ini mungkin akan membengkak. Dan ini patut kita highlight,” kata Dandy.
Sumber : kontan.co.id
Leave a Reply