Donal Trump menolak penerapan pajak minimum global yang bisa mengganggu ekonomi AS
Langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donal Trump dalam menelurkan kebijakan memang di luar dugaan. Salah satunya soal mangkirnya AS dari penerapan pajak minimum global 15% bagi perusahaan multinasional berskala besar.
Dalam pernyataannya, pemerintah Donal Trump menegaskan kesepakatan pajak global yang diinisiasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tidak berlaku di AS. Kecuali, jika nantinya aturan tersebut mendapatkan persetujuan Kongres.
Dalam sebuah memorandum yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, Perwakilan Dagang AS dan Perwakilan Tetap AS untuk OECD, pemerintah menyatakan bahwa kesepakatan yang dibuat pemerintah sebelumnya (Presiden Joe Biden) dianggap membatasi kebijakan pajak domestik dan memberikan yuridiksi luar negeri atas pendapatan perusahaan AS.
Langkah tersebut, menurut Pemerintahan Donal Trump, bisa merugikan perusahaan dan pekerja AS. “Kesepakatan tersebut membatasi kemampuan negara kita untuk memberlakukan kebijakan pajak yang melayani kepentingan bisnis dan pekerja Amerika,” seperti dikutip dari laman resmi White House, Selasa (21/1).
Selanjutnya, Donal Trump memerintahkan penyelidikan terhadap negara-negara yang emungkinan melanggar perjanjian pajak dengan AS. Gedung Putih juga akan menyigi negara-negara yang punya aturan pajak diskriminatif terhadap perusahaan AS.
Pemaksaan pajak
Sementara itu, Pemerintah Indonesia sudah menerapkan pajak minimum global mulai Januari 2025. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 136 Tahun 2024.
Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji menilai, penolakan ketentuan pajak global oleh AS memantik dua implikasi. Di pilar satu, yang bertujuan menjamin hak pemajakan dan alokasi pajak lebih adil bagi negara besar, penolakan AS bisa menjadi pukulan telak. Ini karena pilar satu baru dapat diterapkan jika 30% negara yang mewakili 60% ultimate parent entity global mendukungnya. Pilar ini dirancang untuk pengenaan pajak perusahaan global dengan pendapatan grup diatas € 2 miliar dan profitabilitas lebih dari 10%. “Bakal sulit dijalankan secara global,” kata dia, kemarin.
Sementara itu, untuk pilar dua yang mengatur pajak minimum global, menurut Bawono, skema ini bersifat common approach. Artinya, meskipun AS tidak berpartisipasi, negara lain tetap menerapkan kebijakan tersebut.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai adanya backstop mechanism atau pemaksaan penerapan pajak di pilar dua memungkinkan pajak global diterapkan. Adanya mekanisme pemaksaan tersebut justru bisa memberikan keuntungan bagi negara yang menerapkan pajak global termasuk Indonesia. “Perusahaan AS tetap terdampak pajak minimum global dan terjadi peningkatan (pajak global) bagi Indonesia,” kata Fajry.
Tekanan dari Pemangkasan Pajak Korporasi Amerika
Kebijakan ekonomi ekspansif yang direncanakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donal Trump, termasuk penurunan pajak korporasi dan penghasilan, berpotensi membawa dampak bagi perekonomian Indonesia.
Peneliti dari Departemen Komunikasi CSIS, Dandy Rafitrandi menilai, meskipun penurunan pajak tampak menguntungkan dalam jangka pendek, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan tekanan lain, seperti inflasi yang tinggi di AS. “Tadi seakan-akan Presiden Trump bilang bahwa penurunan pajak ini akan dibayar oleh negara lain dengan tarif yang akan kita dapatkan. Which is totally true be true. Dan ini dalam sisi akademisnya tidak benar,” ujar Dandy dalam Media Briefing, Selasa (21/1).
Dalam jangka pendek hingga menengah, tekanan inflasi yang tinggi di AS diprediksikan masih berlangsung. Kebijakan ekspansif semacam ini juga dapat memperkuat nilai tukar dolar AS yang berefek kepada pelemahan mata uang bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Sumber : Harian Kontan, Rabu 22 Januari 2025, Hal 2
Leave a Reply