Menguji Tuah Kelas Menengah Menghadapi Kenaikan PPN

Nur Alim nama pría itu, a salah satu buruh pabrik di Kabupaten Bekasi. Dua tahun belakangan, ia merasa lebih banyak mengeluarkan uang saat belanja bulanan ke supermarket. Padahal, belanjaan rutinnnya tak banyak berubah.

Dengan nilai uang yang sama, jumlah bawaan barang yang dibeli menjadi lebih sedikit. Pengalaman itu ia rasakan sejak pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11% pada April tahun 2022 lalu. Kini, Nur Alim juga dihadapkan dengan masalah yang sama, PPN tersebut akan naik lagi menjadi 12% mulai awal tahun 2025.

Belum usai kewalahan NurAlam menyiasati belanja bulanan, kini ia kembali dihadapkan risiko kenaikan harga barangbarang jika PPN 12% efektif berlaku. Melihat kondisi ini, Nur Alam fokus memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan menabung untuk masa depannya jika masih ada gaji tersisa.

Apalagi, belakangan Nur Alam kerap mendengar pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana-mana. PHK membuat dirinya was-was kehilangan pekerjaan dan tak produktif secara ekonomi bagi keluarganya.

Sekarang apa-apa mahal, kalau beli barang di minimarket saya lihat banderolnya kuning. Itu pasti diskon. Untuk yang tidak diskon, ya, ditahan dulu sampai diskon,” ujar Nur Alim.

Dengan adanya kenaikan PPN, harga-harga barang kebutuhan hariannya diproyeksikan juga akan naik. Maka itu, Nur Alim mulai mencari cara menerapkan gaya hidup hemat, atau frugal living, yang saat ini semakin populer.

“Biasanya beli sabun cair saya ganti ke sabun batangan yang lebih murah dan awet. Ban motor juga tekanan anginnya saya lebihin supaya irit bensin. Tinggal nanti bagaimana atur soal makan, cara ngiritnya masih dicari karena telur saja sekarang sudah Rp 30.000 per kilogram,” terangnya.

Fenomena pelemahan daya beli serta munculnya gerakan frugal living ini ternyata terasa ke gerai-gerai ritel modern. Tak mengejutkan banyak perusahaan ritel harus menutup gerai dan melakukan pengurangan karyawan. Alasannya sederhana, mulai dari efisiensi, relokasi hingga pelemahan daya beli.

Salah satunya dilakukan PT Platinum Wahab Nusantara Tbk, pengelola gerai Teguk, Cemil.in, dan Seblakin Aja. Dalam enam bulan terakhir, perusahaan memangkas gerai dan karyawan. Jumlah karyawan dari 628 orang pada Desember 2023 menjadi hanya 88 orang per Oktober 2024. Jumlah gerai juga menyusut menjadi hanya 35 gerai untuk mengurangi 68,9% biaya operasional.

“Pendapatan turun dari bulan April 2024 hingga September 2024, mendorong aksi korporasi untuk mengendalikan biaya operasional perusahaan dengan melakukan pengurangan outlet, jumlah karyawan, dan pemindahan lokasi kantor utama,” ujar manajemen perusahaan.

Hal serupa juga dialami PT Fast Food Indonesia Tbk, pemilik gerai KFC dan Taco Bell, yang memangkas jumlah gerai dari 762 gerai akhir 2023 menjadi 715 gerai per September 2024.

    Selain menutup gerai, PT Fast 2 Food Indonesia Tbk juga mengurangi karyawan dari 15.989 orang akhir tahun lalu menjadi 13.715 orang per September 2024. Yang dialami Fast Food bukan hanya pelemahan daya beli, tapi juga adanya gerakan boikot imbas dari konflik yang terjadi di timur tengah.

    Hal ini dibenarkan oleh Wahjudi Martono, Direktur FAST. Penting menjaga beli kelas menengah konsumsi dan daya agar pertumbuhan ekonomi bisa terjaga.

    bilang, pelemahan daya beli dan seruan boikot membuat tekor. Sebelumnya Fast Food menargetkan perjualan tahun ini Rp 6,96 triliun, kemudian direvisi menjadi sekitar Rp 4,7 triliun hingga Rp 4,9 triliun. Target ini lebih rendah dari realisasi penjualan tahun lalu sebesar Rp 5,9 triliun.

    “Fokus perusahaan tetap pada ekspansi gerai baru. Namun, kami juga melakukan realignment untuk merelokasi gerai yang terdampak geopolitik atau perubahan perilaku konsumen dan perubahan trade zone. Penutupan gerai bersifat strategis, yaitu untuk mengoptimalkan lokasi baru yang lebih potensial,” ujar Wahjudi.

    Tak hanya ritel makanan dan minuman yang terkena imbas minimarket juga terdampak lesunya daya beli. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk pengelola gerai Alfamart sepanjang tahun 2024 telah menutup 400 gerai, sebab musababnya adalah biaya sewa gerai yang melonjak dan tak sesuai pendapatan.

    Solihin, Direktur Corporate Affairs Alfamart bilang, perusahaan terpaksa menutup beberapa gerai sebagai langkah strategis meningkatkan penjualan dan keuntungan. Gerai yang ditutup merupakan gerai kurang potensial sehingga direlokasi agar lebih menguntungkan.

    Langkah tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi lebih besar bagi kinerja perusahaan ke depannya. Solihin bilang, jumlah gerai yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar dapat meraih pendapatan yang lebih besar.

    Selain soal pasar, ada faktorlain kenapa Alfamart menutup gerainya. Mulai dari keinginan pemilik lahan menggunakan lahannya sendiri, gerai yang tidak memberikan kontribusi yang baik hingga peningkatan biaya sewa yang luar biasa tinggi. “Kami sewa bisa 5 tahun sampai 10 tahun yang lalu. Sekarang kami harus perpanjang, tetapi tarifnya naik melebihi ekspek tasi kami,” ujarnya.

    Alfamart biasanya menyewa lahan kosong dengan biaya Rp 50 juta- Rp 60 juta per tahun untuk jangka waktu 5 tahun-10 tahun. Ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan dan renovasi agar sesuai desain toko.

    Masalahnya, beberapa gerai yang masa sewanya mau habis, kenaikan tarif sewa diluar dari kewajaran. Pemilik lahan ada yang meminta kenaikan hingga lima kali lipat, bahkan ada yang meminta harga sewa mencapai Rp 300 juta per tahun.

    Hal ini yang menyebabkan beberapa gerai terpaksa ditutup dan direlokasi. Sementara untuk penurunan daya beli, Solihin menyebut, dampaknya tidak langsung ke penutupan gerai. “Yang tutup jauh (lebih sedikit) dibandikan yang saya buka, yang buka tiga kali lipat dari yang tutup,” ungkapnya.

    Dianta Sebayang, ekonom Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyoroti turunnya jumlah kelas menengah dan daya beli yang lesu akibat faktor utama sektor ritel melempem. Apalagi ada tantangan kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

    Kelas menengah sebagai lo komotif perekonomian merjadi penentu pergerakan ekonomi, karena mereka memiliki potensi naik ke kelas menengah atas atau turun ke kelas menengah bawah.. Saat ini ekonomi ditopang sektor konsumsi sehingga penurunan daya beli mengganggu semua sektor.

    “Konsumsi terbesar berasal dari kelas menengah, sehingga penting menjaga kestabilan mereka. Bantuan sosial memang ada, tapi itu untuk kelas bawah. Kelas menengah juga perlu jaring sosial untuk menjaga daya beli,” ungkap Dianta.

    Kelas menengah akan merasakan dampak kenaikan PPN ini secara langsung, meskipun pemerintah telah mencoba mengklasifikasikan mana saja yang terkena dan tidak terkena PPN dan mengompensasi dengan insentif. Dianta bilang, dampak kenaikan PPN sangat memukul kelas menengah.

    Tak heran saat ini sektor ritel banyak yang tutup dan memilih efisiensi. Diata bilang, hal ini wajar dilakukan perusahaan dalam kondisi sulit. Namun efeknya terasa, sebab efisiensi termasuk mengurangi karyawan membuat jumlah pengangguran semakin besar dan efeknya tidak baik bagi daya beli.

    Apalagi, kenaikan PPN tak hanya menyasar sektor ritel moden tetapi pasar tradisional hingga warung madura. Banyak pedagang kakilima keberatan dengan pengenaa PPN menjadi 12% tersebut. Efeknya, pengeluaran masyarakat semakin mahal atau masyarakat mengurangi belanjanya.

    “Warung madura misalnya, mereka beli barang dari grosir sudah kena PPN dan harganya naik, sedangkan ritel modern pasti mengenakan PPN 12% ke konsumen,” kata Dianta.

    Anang Zunaedi, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) bilang, dampak kenaikan PPN sudah mulai terasa. Sejak pertengahan bulan ini, ritel kecil dan warung Madura bersiap karena ada surat distributor dan pemasok mengenai kenaikan harga barang per 1 Januari 2025.

    Kenaikan harga akan di by pass ke konsumen, sehingga harga yang dibayar konsumen akan naik. Anang, memperkirakan, imbas kenaikan PPN ke toko ritel kecil dan warung Madura masih minim, tak seperti ritel modern.

    “Saat ini, daya beli melemah terutama menjelang Natal dan Tahun Baru, ini pergerakan (naik) nya tidak terasa. Di sektor ritel tidak semua toko merupakan ritel modern, ada yang semi modern dan tradisional. Nah, ritel kecil ini lebih fleksibel dalam biaya operasionalnya minim,” ujarnya Anang.

    Ada banyak ritel modern yang menutup gerai tidak hanya disebabkan pelemahan daya beli semata. Peritel harus menanggung biaya operasional yang besar mulai dari biaya sewa bangunan, biaya gaji karyawan, hingga biaya listrik.

    Menuturkan menurut data Euromonitor, jumlah gerai ritel di Indonesia mencapai 3,97 juta gerai jumlahnya menyusut dari tahun 2022 yang tercatat sebanyak 3,98 juta gerai.

    Sebanyak 70% dari jumlah ritel itu merupakan ritel ultra mikro termasuk warung bermodal Rp 10 juta hingga di bawah Rp 100 juta. Sementara 20% merupakan ritel mikro dengan modal di bawah Rp 1 miliar dan omzet di bawah Rp 2 miliar. Artinya hanya 10% yang tergolong ritel besar dengan modal di atas Rp I miliar dan omzet di atas Rp 2 miliar.

    Anang bilang, kenaikan PPN akan memukul daya beli tahun depan. Imbasnya gerai ritel yang tutup akan semakin banyak. Untuk ritel kecil mungkin bisa lebih cepat menyesuaikan produk yang dijual, tetapi tetap saja nasibnya bergantung pada konsumen. Bila tahun depan kelas menengah semakin tipis, tentu saja harapan untuk bisa bertumbuh semakin sulit.

    “Kenaikan upah buruh hanya 6,5% itu jauh di bawah dampak kenaikan PPN 12%, jadi tetap berat. Sebaiknya ditunda saja sampai kondisi ekonomi siap, kalau seperti ini semuanya kenaimbas,” kata Anang.

    Masih ekspansif

    Kendati banyak ritel yang tutup, beberapa pelaku ritel justru tengah giat ekspansi. Sebutnya saja PT Lion Super Indo pemilik gerai Superindo yang aktif menambah gerai dan memperluas cakupan ke wilayah baru di Jawa dan Sumatera.

    D. Yuvlinda Susanta; General Manager Corporate Affairs & Strategic Event Management Super Indo bilang, bulan Desember saja pihaknya membuka dua gerai baru karena tingginya permintaan. Setahun ini, penambahan gerainya mencapai dua digit sehingga jumlah keseluruhan gerai Superindo sudah mencapai 250 gerai.

    “Tahun 2024 kami berhasil menambah gerai di beberapa kota/kabupaten baru seperti Klaten, Probolinggo, Madiun, Banyumas dan Garut,” kata Yuvlinda,

    Merujuk data Euromonitor tahun 2023, jumlah gerai Superindo mencapai 176 gerai. Menurut Yuvlinda, ekspansi akan berlanjut tahun depan. Dalam ekspansi itu, Yuvlinda bilang, pihaknya menggandeng pemasok dan pelaku UMKM lokal untuk berkembang bersama.

    “Kami berharap dapat terus memberikan pelayanan terbaik dan mendukung perekonomian lokal melalui pembukaan gerai baru di tahun-tahun mendatang,” urai Yuvlinda.

    Sementara itu, PT Matahari Putra Prima Tbk pemilik gerai Hypermart, Hyfresh, Foodmart, Primo, Boston Health & Beauty dan FMX juga melakukan ekspansi. Sampai Desember 2024, perusahaan memiliki 118 gerai. Untuk bulan ini manajemen juga membuka gerai baru Hypermart di Pluit, Jakarta.

    Jerry Goei, Direktur PT Matahari Putra Prima Tbk bilang, ekspansi gerai merupakan langkah strategis untuk mendekatkan diri ke konsumen. Pemilihan gerai dengan lokasi strategis dan mudah diakses diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

    “Gerai dirancang lebih modern dan konsep yang lebih compact untuk memberikan pengalaman belanja yang nyaman, efisien dan menyenangkan,” ujar Jerry. Oleh karena itu jaminan kualitas dan kesegaran serta harga yang terjangkau menjadi fokus utama.

    Ekspansi juga dilakukan sejumlah gerai ritel kecil. Anang bilang, banyak gerai kecil kin ikut menambah jasa atau produknya. Contoh, toko kelontong juga menjual gas elpiji, bensin dan pulsa. Selain itu, beberapa gerai juga menyediakan transaksi tarik tunai dan lainnya.

    Namun banyak juga peritel kecil belum bisa mengembangkan bisnisnya karena minimnya pendampingan dari pemerintah.Sementara itu, Kementerian Perdagangan mengaku tidak mengurusi pedagang ritel kecil, pun dengan Kementerian UMKM yang selama ini hanya membina pelaku UMKM yang menghasilkan produk saja, tidak mengurusi yang berdagang seperti peritel kecil.

    “Padahal peritel kecil ini usaha yang bisa dilakukan dengan cukup mudah, banyak ibu-ibu di kampung membuka warung untuk tambahan penghasilan. Tapi ini tidak dibina oleh pemerintah, mereka ketinggalan dari sisi kompetensi dan teknologi, apalagi bicara soal akses permodalan,” ujar Anang.

    Sumber : Tabloid Kontan

    Comments

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    WhatsApp WA only