JAKARTA. Agenda konsolidasi fiskal yang mulai digeber sejak 2023 agaknya terus menuai polemik. Belum tuntas kontroversi amnesti pajak jilid III dan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% didiskusikan di ruang publik, pemerintah kembali melempar “bola panas” yang mengarah pada segmen pengusaha.
Di satu sisi, pemerintah berencana mengubah tarif final pajak penghasilan (PPh) Badan. Tarif semula 22% yang berlaku sejak 2020 dipangkas menjadi 20%. Di sisi lain, pemerintah juga hendak menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP). Meski masih simpang-siur, kriteria PKP omzet Rp 4,8 miliar akan dipangkas menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.
Besaran ambang batas PKP sempat mendapat sorotan dari lembaga internasional sekaliber Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Bahkan, World Bank dalam laporan Global Economics Prospect edisi Juni 2021 sudah menulis tingginya nilai ambang batas PKP di Indonesia diklaim menjadi penyebab penerimaan PPh Badan kurang optimal.
Pada titik ini, optimalisasi penerimaan PPh Badan memunculkan kontradiksi. Pemotongan tarif PPh niscaya akan meringankan beban pengusaha besar. Dengan atribut sebagai penyumbang terbesar penerimaan pajak penghasilan, otoritas fiskal tampaknya hendak mengurangi secara gradual ketergantungan pada PPh Badan.
Karakteristik PPh Badan sangat boleh jadi fluktuatif. Penerimaan PPh Badan sangat tinggi ketika perekonomian berada pada fase puncak, namun bisa merosot tajam tatkala perekonomian dalam masa kesuraman. Pemotongan tarif PPh Badan dimaksudkan untuk mereduksi siklikalitas yang termaktub di dalam kinerja perusahaan.
Dalam pandangan otoritas fiskal, penurunan tarif PPh Badan juga diyakini mampu mendorong tingkat kepatuhan pembayaran pajak. Bahkan penurunan tarif PPh Badan diharapkan akan merangkul pengusaha yang tadinya belum membayar PPh Badan dengan benar menjadi wajib pajak yang taat.
Namun demikian, asumsi di atas sejatinya masih bisa diperdebatkan. Bukti empiris di berbagai negara menunjukkan tidak ada korelasi yang kukuh antara kedua variabel tersebut. Tinggi-rendahnya tarif pajak bukan faktor utama dalam menentukan kepatuhan wajib pajak dalam menunaikan kewajibannya.
Demikian pula, penurunan ambang batas PKP akan menggeser status usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pelaku UMKM yang sebelumnya berstatus tidak terkena kewajiban perpajakan akan berubah menjadi wajib pajak. Dengan dominannya UMKM, penurunan ambang batas PKP niscaya akan memperluas basis pajak.
Beranjak dari situ, pemerintah tampaknya hendak mentrasformasi UMKM sebagai bangun usaha yang formal. Namun begitu, pelaku UMKM sejauh ini masih berkutat dengan keberlangsungan usaha setelah terpapar pandemi Covid-19. Artinya, kenaikan penerimaan pajak dari UMKM belum bisa segera terlihat.
Alhasil, kenaikan penerimaan negara dari perubahan ambang batas PKP bagi UMKM agaknya tidak mampu menebus penyusutan penerimaan negara yang ditimbulkan dari pemotongan tarif PPh Badan. Resultan akhir konsolidasi fiskal bagi pundi-pundi negara, lagi-lagi, menjadi pertanyaan besar.
Lebih lanjut, insentif berupa tarif PPh final 0,5% bagi UMKM yang berlaku sejak 2017 belum signifikan mengangkat kinerja UMKM. Perpanjangan masa insentif sampai akhir 2025 (sebelum kembali ke tarif normal 1%) pun belum juga mampu menaikkan pamor UMKM dalam percaturan rantai pasok nasional.
Kondisi di atas agaknya menjadi ironi besar di kala perkembangan UMKM terus didorong. Di satu sisi, ada kemungkinan pelaku UMKM mengalami kesulitan untuk “naik kelas”. Masalah klasik seperti permodalan, akses keuangan, teknologi produksi, kualitas produk dan jaringan pemasaran sudah sering disebut di berbagai forum.
Hambatan berkembang
Namun di sisi lain, kebijakan yang diterapkan pemerintah justru menjadi kendala tersendiri bagi UMKM untuk maju berkembang. Jarak PKP dari Rp 4,8 miliar ke Rp 3,6 miliar terlampau jauh untuk ditempuh. Demikian pula, perbedaan rentang tarif PPh final UMKM 0,5% ke 1% niscaya menjadi disinsentif yang material.
Alhasil, kebijakan di atas justru bisa menjadi bumerang. Banyak pelaku UMKM yang menghindarkan diri dari kriteria PKP dengan sengaja menahan omzet tahunannya. Dugaan itu tidak mengada-ada. Tingginya jumlah UMKM yang beroperasi persis di bawah ambang batas PKP seakan menjadi justifikasi yang valid.
Dengan berbagai dilema tersebut, jalan tengah diperlukan agar diperoleh solusi yang kompromistis. Ada beberapa skenario yang bisa dikembangkan. Pertama, membiarkan ambang batas PKP dalam posisi status quo sebagaimana semula. Mengubah ambang batas PKP dalam kondisi ketidakpastian akan merecoki kepercayaan pasar.
Kedua, kalaupun ambang batas PKP akan diubah, semestinya dia dinaikkan alih-alih diturunkan. Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk wajib pajak orang pribadi toh selalu naik. Kenaikan ambang batas PKP menjadi perwujudan konkret spirit keberpihakan pemerintah dalam mengangkat ekonomi lapis bawah.
Ketiga, tarif PPh final UMKM 0,5% dan 1% dipermanenkan. Insentif, sesuai sifatnya, tidak bisa diberikaan terus-menerus. Pokok persoalan bukan pada besarannya, melainkan kepastian dalam memberlakukan dua lapis tarif PPh UMKM. Dengan merevisi kriterianya, tarif PPh final UMKM 0,5% dan 1% tetap bisa diimplementasikan.
Keempat, jika pemerintah tetap kukuh mengonsolidasi fiskalnya, tarif PPh Badan patut dijadikan sasaran. Tarif PPh Badan seharusnya ditetapkan berjenjang dengan struktur yang progresif, misalnya 20% dan 22%. Penambahan layer tarif PPh Orang Pribadi 35% untuk wajib pajak super kaya bisa menjadi rujukan.
Dengan tarif PPh Badan yang progresif, pengusaha yang mengalami kelesuan kinerja dengan sendirinya memperoleh “keringanan” pajak lantaran membayar PPh Badan dengan kelas tarif yang ada di bawahnya. Imbasnya, penerimaan pemerintah tidak turun drastis sebagaimana yang terjadi dalam masa pandemi Covid-19.
Dalam skala yang lebih luas, penjenjangan tarif PPh Badan bisa berfungsi sebagai stabilisasi otomatis yang bekerja mandiri tanpa regulasi ekstra. Ketiadaan instrumen stabilisasi otomatis dalam melawan siklus ekonomi ditengarai oleh Dolls, Fuest dan Peichl (2012) sebagai penyebab mahalnya stimulus fiskal.
Alhasil, konsolidasi fiskal semestinya tidak ditafsirkan semata-mata hanya mengerek penerimaan negara, tetapi juga menjadi momentum untuk meletakkan fondasi kelembagaan kapan stimulus diberikan. Pada akhirnya, tujuan pemerintah terakomodasi, beban produsen tereduksi dan kepentingan konsumen juga terlindungi. Bukan begitu?
Sumber : Harian Kontan Selasa 24 Desember 2024 hal 15
Leave a Reply