Perhatian, PPN 12 Persen Tak Hanya Berlaku untuk Barang Mewah

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang berlaku tahun depan tidak hanya dikenakan terhadap barang mewah.

“Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti dalam rilis resmi, Minggu (21/12).

Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix.

Dwi menegaskan hanya ada 3 barang pokok yang tak terdampak kenaikan tarif PPN mulai 1 Januari 2025 yakni minyak goreng curah pemerintah dengan merek Minyakita, tepung terigu, serta gula industri. Ketiganya tetap dengan tarif lama 11 persen.

“Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP). Sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut,” ujarnya.

Kendati demikian, ada sejumlah kebutuhan pokok lain yang mendapatkan fasilitas bebas PPN. Artinya, barang dan jasa tersebut tidak akan dipungut pajak pertambahan nilai alias tarifnya nol persen, sama seperti yang berlaku saat ini.

Barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas bebas PPN di 2025 terbagi ke dalam tiga kelompok, yakni sebagai berikut:

1. Kebutuhan pokok
Ada beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

2. Sejumlah jasa
Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan. Kemudian, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja, serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.

3. Barang lain
Ini mencakup buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), listrik, dan air minum.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan SriMulyani Indrawati sebelumnya menyatakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen sesuai amanah Undang-undang tentang Harmoni Peraturan Perpajakan (HPP).

“Tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari. Namun, barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat ini PPN-nya diberikan fasilitas atau 0 persen,” ujar Airlangga dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12).

Pada kesempatan sama, Sri Mulyani juga meyakinkan saat itu kenaikan hanya berlaku untuk barang dan jasa yang tergolong premium, termasuk jasa pendidikan dan kesehatan mewah.

“Sesuai dengan masukan dari berbagai pihak, termasuk DPR, agar azas gotong royong di mana PPN 12 persen dikenakan bagi barang yang dikategorikan mewah, maka kita juga akan menyisir untuk kelompok harga untuk barang-barang dan jasa yang merupakan barang jasa kategori premium,” ujar Sri Mulyani.

Ia juga mengumumkan kenaikan PPN akan dibarengi dengan beragam stimulus bagi masyarakat mulai dari diskon tagihan listrik 50 persen untuk pelanggan hingga golongan 2.200 VA hingga pembebasan pajak penghasilan untuk pekerja di industri padat karya dengan penghasilan di bawah Rp10 juta.

Kendati demikian, kebijakan kenaikan PPN terus mendapatkan kritikan dari masyarakat karena dilakukan di tengah pelemahan daya beli dan maraknya PHK.

Bahkan, petisi penolakan atas kebijakan pemerintah itu menembus 173 ribu tanda tangan. Petisi ini berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!”. Petisi ini sudah tayang di situs change.org sejak 19 November 2024.

Per Senin (23/12) siang ini pukul 12.45 WIB, sudah ada 173.750 orang yang menandatangani petisi untuk menolak kenaikan PPN 12 persen. Inisiator petisi menargetkan 200 ribu tanda tangan untuk petisi tersebut.

Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya sebenarnya memiliki kewenangan untuk menunda hingga membatalkan kenaikan tersebut jika menginginkannya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari F-PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit menjelaskan hal itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurut Pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV, rentang perubahan tarif PPN berada di angka 5-15 persen dengan persetujuan DPR

“Sebagaimana amanat UU HPP, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12 persen. Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5 persen sampai dengan 15 persen (bisa menurunkan maupun menaikkan), sesuai UU HPP Pasal 7 Ayat (3), pemerintah dapat mengubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan persetujuan DPR,” kata Dolfie dalam keterangan tertulis, Minggu (22/12).

Dolfie menyebutkan pertimbangan kenaikan atau penurunan tarif PPN bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Karenanya, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN.

Sumber : Cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only