Pemerintah memastikan beras jenis premium tidak dikenakan tarif PPN 12%
Pemerintah sudah menetapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11% menjadi 12% mulai awal tahun depan. Salah satu objek PPN yang terimbas adalah beras kategori premium.
Masuknya beras premium yang dikenakan tarif PPN 12% langsung dijelaskan pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan menegaskan pemberlakuan tarif PPN 12% dipastikan tidak menyasar komoditas pangan. Terkait dengan beras premium yang terkena PPN, produk tersebut merujuk pada beras khusus.
“[Kebijakan tarif PPN 12%] tidak dikenakan untuk beras secara umum. Maksudnya beras khusus [yang terkena PPN], bukan premium [seperti dikonsumsi oleh masyarakat luas],” ujar Zulkifli saat konferensi pers di Gedung Graha Mandiri, Rabu (18/12).
Dia kembali menegaskan kenaikan tarif PPN menjadi 12% tidak menyasar jenis beras medium maupun beras medium. “Jadi [beras] premium, [beras] medium tidak dikenakan PPN 12%,” kata dia.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi juga menegaskan beras premium tak masuk dalam daftar barang yang terdampak kenaikan tarif PPN 12%. “Beras tidak termasuk PPN, termasuk beras premium,” ucap dia, Rabu (18/12).
Arief menjelaskan, beras masuk dalam komoditas strategis, sehingga dikecualikan dalam rencana kenaikan PPN 12% mulai awal tahun depan.
Walau begitu, jika ada beras yang terdampak kenaikan hanya beras khusus, Namun dia menegaskan kategori beras premium tak masuk dalam barang yang terkena kebijakan kenaikan tarif PPN 12% “Mungkin itu beras khusus, tapi ini masih on discussion,” jelas Arief.
Beras jenis tertentu
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menjelaskan yang dimaksud beras khusus adalah beras yang selama ini diimpor oleh pihak swasta. “Besarnya antara 300.000 hingga 450.000 ton [per tahun],” ujar dia kepada KONTAN, Rabu (18/12).
Khudori menyebutkan, jenis beras khusus yang paling banyak diimpor adalah beras patahan alias broken rice yang kerap digunakan industri untuk membuat tepung beras.
Selain itu, kata dia, terdapat jenis beras khusus yang diimpor dalam jumlah lebih kecil, yang digunakan untuk konsumsi kalangan masyarakat tertentu. “Dalam jumlah yang lebih kecil biasanya untuk konsumsi komunitas tertentu atau selera tertentu, seperti beras Jepang Japonica, beras India Basmati atau beras Thailand Thai Home Mali,” terang Khudori.
Sejauh ini, dia menilai kuota impor beras tersebut tidak diatur seperti jenis beras lainnya yang dilakukan oleh Perum Bulog. Menurut Khudori, pemerintah tidak perlu mengatur batas impor untuk beras tersebut. Selain itu, dia bilang, selama ini data secara besaran nilai impor beras khusus tersebut tercatat di Bea Cukai. “kalau diatur kuotanya justru akan memunculkan sifat transaksional,” ungkap Khudori.
Sumber : Harian Kontan, Kamis 19 Desember 2024, Hal 14
Leave a Reply