Ketimbang PPN Lebih Baik Benih Aturan

JAKARTA. Keputusan pemerintah untuk tetap melanjutkan kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% khusus untuk barang mewah dinilai tidak banyak memberikan manfaat. Dampak terhadap kelas menengah memang akan lebih minim. Namun penerimaan juga tak akan signifikan.

Selain terkena PPN, objek barang mewah selama ini juga dipungut tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Namun karena objek PPnBM tak banyak., setoran pajaknya juga tak signifikan. Dengan tarif bervariasi antara 10% hingga 30%, setoran PPnBM tahun lalu, berdasarkan data DJP, hanya Rp 24,37 triliun. Angka ini setara 1,13% dari realisasi penerimaan pajak saat itu yang mencapai RP 2.155,42 triliun.

Alih-alih menaikan tarif PPN, menurut DJP Hadi Purnomo, pemerintah seharusnya meluruskan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP. Tanpa menyebut perinciannya, Hadi menduga ada peraturan menteri keuangan (PMK) yang inkonsisten dengan UU KUP tersebut.

Padahal, jika bisa diselaraskan maka akan terwujud transparansi pajak, “Kalau ada transparansi pajak, maka semua SPT akan bisa diperiksa by system,” kata Hadi di acara Business Talk Kompas TV bekerja sama dengan KONTAN, kemarin. Pasalnya SPT yang bisa diuji saat ini hanya 1,5%.

Melalui transparansi perpajakan, menurut Hadi, bukan tak mungkin tax ratio Indonesia bisa meningkat 1%-2% setiap tahun. Ia menjelaskan, setiap kenaikan rasio pajak sebesar 1% setara dengan tambahan peerimaan pajak RP 250 triliun. “Itu bisa karena pernah saya coba tahun 2001 sampai 2005 hasilnya 13% tax ratio kita di 2005. Masak sekarang turun lagi jadi 8%, 9%, 10%? Berarti ada yang salah.” tambahnya.

Terkait atrif PPN, Hadi menilai belum waktunya pemerintah mengerek pajak jenis ini. Bahkan menurut dia, dengan tarif PPN 10% saja pemerintah seharusnya bisa menutup penerimaan di PPN maupun pajak penghasilan (PPh).

Pengamatan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menambahkan, pemerintah bisa mengerek tax ratio dengan memaksimalkan coretax system yang diterapkan tahun depan.

Menurut dia, Dirjen Pajak sudah mengumpulkan data data dari berbagai instansi pemerintah, lembaga keuangan, bursa dan otoritas pajak lainnya. Sayangnya, data data itu belum dimaksimalkan lantaran sistem pajak selama ini belum mendukung.

“Dengan coretax tahun 2025 seharusnya data-data yang sudah dikumpulkan tersebur harus dimaksimalkan,” tandas Agus Suparman.

Sumber : Harian Kontan, Rabu 11 Desember 2024. Halaman 2.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only