JAKARTA. Wajib pajak bernama Surianingsih mengajukan permohonan pengujian materiil atas Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP sekaligus atas Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak. Perkara bernomor 168/PUU-XXII/2024 ini akan mulai disidangkan pada Senin (9/12/2024).
Menurut pemohon, Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak tidak mampu memberikan kepastian hukum, jaminan perlindungan hukum, dan rasa keadilan. Dengan demikian, kedua ayat dimaksud bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum tersebut juga melanggar prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum‘,” tulis pemohon dalam permohonannya, dikutip Jumat (6/12/2024).
Perlu diketahui, Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP mengatur tentang hak wajib pajak untuk mengajukan pengurangan/pembatalan atas surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak (STP) yang tidak benar. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak adalah ayat yang menyatakan bahwa gugatan oleh wajib pajak tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak atau kewajiban pajak.
Menurut pemohon, Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP dan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak menimbulkan masalah konstitusional karena pengurangan, pembatalan, ataupun gugatan yang diajukan tidak menunda kewajiban pembayaran pajak.
Hal ini berbeda dengan keberatan dan banding yang memberikan hak bagi wajib pajak untuk menunda pembayaran pajak hingga paling lambat 1 bulan setelah tanggal penerbitan surat keputusan keberatan atau putusan banding.
“Terdapat diskriminasi hukum atau ketidakpastian hukum dalam upaya hukum melalui Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP dan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak jika dibandingkan dengan upaya hukum melalui keberatan/banding (Pasal 25 dan Pasal 27 UU KUP),” tulis pemohon dalam permohonannya.
Agar tidak menimbulkan diskriminasi hukum, wajib pajak yang mengajukan permohonan pengurangan, pembatalan, atau gugatan seharusnya juga diberikan hak untuk menunda pembayaran pajak hingga paling lambat 1 bulan sejak keputusan atas Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP atau sejak putusan gugatan.
Dalam petitumnya, pemohon meminta ke MK untuk menyatakan frasa ‘…mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar‘ dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan frasa ‘…mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar‘ dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terakhir, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak yang berbunyi ‘Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan‘ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon mengusulkan pemaknaan baru yang menangguhkan kewajiban pembayaran pajak bagi wajib pajak yang mengajukan pengurangan, pembatalan, atau gugatan.
Bila permohonan ini dikabulkan oleh MK maka Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP selengkapnya perlu dimaknai sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar dan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat Pengurangan atau Pembatalan disampaikan, dan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan Pengurangan atau Pembatalan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan.”
Adapun Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP selengkapnya dimaknai sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar dan atas Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat Pengurangan atau Pembatalan disampaikan, dan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan Pengurangan atau Pembatalan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan.”
Terakhir, Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak selengkapnya dimaknai sebagai berikut: “Gugatan menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan, dan jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan Pengurangan atau Pembatalan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Gugatan.”
Sumber : ddtc.co.id
Leave a Reply