Pemerintah akan membentuk Kementerian Penerimaan Negara, dipimpin oleh Anggito Abimanyu yang kini menjabat Wakil Menteri Keuangan. Sejumlah pengamat berpendapat kementerian ini nantinya akan memiliki banyak pekerjaan rumah, mulai dari mendongkrak rasio pajak hingga menjalankan tax amnesty jilid III dengan optimal.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo irit bicara ketika ditanya tentang pembentukan kementerian baru ini. “Gimana, gimana?” kata Hashim saat ditemui usai acara Penghargaan Nusantara TV: CEO Awards 2024 yang diadakan di Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2024. Setelah itu, ajudannya berkata, “No comment.”
Hashim yang awalnya mengumumkan Anggito Abimanyu akan menjabat Menteri Penerimaan Negara. Adik kandung Presiden Prabowo Subianto itu mengatakan, pemerintahan saat ini memiliki program-program yang bertujuan menutup kebocoran-kebocoran penerimaan negara.
Sumber penerimaan, yakni dari perbaikan sistem perpajakan dan cukai dan investasi dari luar negeri. Program-program itu, kata dia, sebagian telah dan akan mulai dilaksanakan.
“Itu nanti ditangani oleh Pak Anggito Abimanyu sebagai Menteri Penerimaan Negara yang baru. So saya kira beliau sebagai Wakil Menteri (Keuangan) itu nanti untuk sementara beliau nanti diangkat sebagai Menteri Penerimaan Negara,” kata Hashim dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia versi Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Hotel Mulia, Jakarta, Ahad, 1 Desember 2024.
Kementerian Penerimaan Negara adalah badan baru yang akan fokus menangani urusan pajak, penerimaan negara bukan pajak, serta bea dan cukai. Dalam Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025, badan ini juga akan bertugas untuk meningkatkan rasio pajak untuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tugas-tugas itu semula berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpandangan jika pemerintah ingin membentuk Kementerian Penerimaan Negara, maka targetnya harus jelas dengan Key Performance Indicator (KPI) yang terukur.
Misalnya, kementerian baru itu bisa menjamin kenaikan rasio pajak tanpa mengganggu perekonomian kelas menengah ke bawah. Bhima juga mengusulkan agar Kementerian Penerimaan Negara berani mengambil keputusan strategis seperti menerapkan pajak kekayaan atau wealth tax, pajak karbon mulai 2025, pajak rejeki nomplok atau windfall tax, pajak produksi batu bara, hingga menutup kebocoran pajak.
“Kementerian Penerimaan Negara di bawah Pak Anggito sebenarnya punya modal untuk mengejar kepatuhan lewat data tax amnesty (pengampunan pajak) jilid 1 dan 2 kemarin,” ujarnya lewat pesan singkat kepada Tempo. “Bukan masalah ada kementerian atau badan baru, yang jadi masalah berani tidak kepala badannya ambil kebijakan yang progresif.”
Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, berkata pembentukan Kementerian Penerimaan Negara bisa menjadi jawaban bagi kesulitan fiskal yang dialami Indonesia beberapa tahun belakangan. “Diperlukan institusi yang powerfull dan fokus, untuk meningkatkan tax ratio kita,” ujarnya kepada Tempo.
Wijayanto menuturkan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan kementerian baru ini – hal-hal yang selama ini kurang mendapatkan perhatian akibat struktur Kemenkeu yang dinilai “gemuk”.
“Memberantas penyelundupan, memajaki sektor underground economy, menekan korupsi bidang pajak, menjalankan tax amnesty jilid III yang optimal, memperluas basis pajak adalah kerja besar yang barangkali kurang mendapatkan perhatian selama ini, akibat struktur Kemenkeu yang gemuk,” kata dia.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan sampai Senin sore, 2 Desember 2024, belum ada pembahasan dari Istana mengenai pembentukan Kementerian Penerimaan Negara.
“Jadi Kementerian Keuangan masih bekerja seperti biasa, satu menteri dengan tiga wakil menteri masih bekerja seperti biasa,” kata Hasan di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 2 Desember 2024.
Sumber : www.tempo.co
Leave a Reply