Indonesia ditahbiskan sebagai negara hukum (rechtstaat). Tapi, paradigma pembangunan hukum sedang menuju ke arah negara kekuasaan (machtstaat). Kecemasan itu tercermin dari sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memasukkan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amnesty) dalam prolegnas 2025.
Politik hukum rezim parlemen saat ini tampaknya lebih suka memberi ‘suaka’ pengemplang pajak ketimbang menguatkan supremasi hukum yang berkeadilan dan memberikan penghargaan warga negara yang taat pajak. Sikap politik tersebut kurang memihak pada keadilan karena pemerintah juga akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai tahun depan (KONTΑΝ, 20/11).
Masih banyak rancangan undang-undang prioritas yang patut didahulukan. Salah satunya ialah RUU Jabatan Hakim yang bertahun-tahun menguap. Meskipun melabeli diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945), hingga kini jabatan hakim belum diatur secara khusus seperti halnya kepolisian, kejaksaan, maupun advokat.
Parlemen sebagai lembaga yang berfungsi membentuk undang-undang semestinya tak bermental saudagar yang orientasinya untung rugi. Para founding fathers menetapkan Indonesia sebagai negara hukum bertujuan mewujudkan cita-cita luhur membangun sebuah negara yang berlandaskan pada keadilan, kepastian hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta sebagai antitesis kolonialisme yang sewenang-wenang.
Konsekuensi dari prinsip negara hukum ialah semua tindakan pemerintah harus berlandaskan hukum, bukan merekayasa hukum melalui kewenangannya. Artinya, aturan harus diterapkan secara konsisten tanpa diskriminasi. Setiap warga negara sebagai wajib pajak mutlak mendapatkan perlakuan yang adil di mata hukum. Maka itu, tax amnesty harus dikaji sejauh mana mematuhi dan menghormati prinsip-prinsip hukum tersebut. Dalam perspektif negara hukum, pengampunan pajak punya relasi yang kompleks dengan prinsip negara hukum, terutama dalam konteks keadilan, kepastian hukum, dan kesetaraan di depan hukum. Wajib pajak yang secara rutin memenuhi kewajiban membayar pajak akan beranggapan diperlakukan diskriminatif karena tetap tunduk pada hukum tanpa mendapatkan keistimewaan dan penghargaan lebih. Sedangkan pengemplang pajak (yang sengaja menghindari kewajiban) diuntungkan karena diberikan kesem- patan untuk melaporkan aset atau pendapatan dengan sanksi ringan atau bahkan tanpa sanksi.
Kemunduran hukum
Tax amnesty hanyalah bentuk kemunduran hukum karena merusak prinsip keadilan dalam hukum pajak yang secara ideal memposisikan semua wajib pajak harus membayar kewajiban pajaknya sesuai aturan. Memberikan pengampunan dosa kepada pengemplang pajak hanya akan menciptakan preseden buruk karena bentuk-bentuk pelanggaran hukum justru diampuni tanpa melalui proses hukum dan memberikan efek jera. Pengemplang pajak yang sebelumnya lari dari kewajiban justru merasa diuntungkan dengan kesempatan membayar pajak lebih rendah atau bahkan tanpa sanksi.
Kebijakan tax amnesty dalam jangka panjang berisiko menciptakan yurisprudensi buruk. Individu ataupun perusahaan akan berpotensi mengulangi perbuatannya untuk tidak patuh bayar pajak karena asumsinya menghindari pajak bukanlah masalah serius dan kemungkinan akan ada pengampunan lagi di masa mendatang. Sebaliknya, supremasi hukum yang tidak konsisten dalam perkara perpajakan yang memberikan pengecualian kepada pengemplang pajak yang melarrggar aturan akan, melemahkan kepercayaan publik terhadap negara dan hukum.
Tax amnesty menciptakan ketidaksetaraan dalam bernegara karena pelanggar hukum “diuntungkan,” sementara yang patuh “dihukum secara moral.” Wajib pajak yang patuh akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pajak dan pemerintah, karena merasa usaha mereka tidak dihargai. Akumulasi kekecewaan tersebut sangat membahayakan stabilitas pendapatan negara yang diperoleh dari sektor pajak.
Kebijakan tax amnesty sejatinya hanyalah opsi kebijakan moneter dari negara yang bersifat jangka pendek dan penuh dilema. Pilihan pahit itu memunculkan dilema antara tujuan jangka pendek penerimaan negara dan dampak jangka panjang terhadap keadilan serta kepatuhan pajak. Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa tax amnesty tidak menjadi kebijakan yang berulang-ulang, melainkan bagian dari langkah strategis untuk memperbaiki sistem pajak secara keseluruhan. Sebab, kebijakan tax amnesty juga pernah dilakukan di era pemerintahan sebelumnya.
Tanpa pengawasan yang ketat dan sanksi tegas bagi pengem- plang pajak setelah pengampunan berakhir hanya akan melahirkan moral hazard. Jika tidak diawasi dengan ketat tax amnesty menja- di ladang basah bagi oknum untuk melegalkan aset ilegal, termasuk hasil dari kejahatan ekonomi.
Membenahi sistem perpajakan dan penegakan hukumnya semestinya dimulai dari keseriusan dan ketegasan penegak hukum untuk membidik dan menjerat hukum para pengemplang. Kebocoran anggaran sektor pajak dalam konteks negara hukum jangan hanya dilihat dari perspektif penerimaan, tetapi juga penguatan (penegak) hukum.
Salah satu opsinya ialah memposisikan hakim pajak di bawah Mahkamah Agung seperti pengadilan perikanan, pengadilan niaga, atau pengadilan hubungan industrial, sehingga lebih terintegrasi dalam sistem peradilan nasional. Hal ini dapat menciptakan hakim pajak yang lebih independen, baik secara kelembagaan maupun dalam pengambilan keputusan.
Hakim pajak yang saat ini berada dalam rumpun eksekutif di bawah Kementerian Keuangan berpotensi menghadapi konflik kepentingan. Pengadilan pajak bertugas memutus sengketa perpajakan antara wajib pajak dan otoritas pajak (Direktorat Jenderal Pajak).
Di banyak negara, pengadilan pajak berada di bawah peradilan umum atau Mahkamah Agung. Sebut saja Amerika Serikat, pengadilan pajak di sana independen dan tidak terkait dengan otoritas pajak. Atau di Belanda yang ditangani oleh pengadilan administratif di bawah pengawasan sistem peradilan umum. Wajib pajak cenderung lebih percaya pada sistem peradilan yang merdeka, putusan pengadilan pajak lebih diterima masyarakat, dan negara hukum lebih digdaya.
Sumber : Harian Konta, Kamis 21 November 2024 (Hal.15)
Leave a Reply