Terbukanya ruang untuk program pengampunan pajak jilid III tahun depan disebut melukai aspek keadilan. Itu juga disebut berpotensi merusak moral pajak masyarakat lantaran terbentuk ekspektasi pemerintah akan terus berulang menjalankan program tersebut.
“Wajib pajak yang selama ini taat bisa merasa tidak adil dan memilih menunda pembayaran atau pelaporan pajak sambil menunggu amnesti berikutnya. Lebih jauh lagi, kredibilitas sistem perpajakan kita bisa terganggu,” kata periset Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet saat dihubungi, dikutip Rabu, 20 November 2024.
“Karena pengampunan pajak yang terlalu sering dapat dilihat sebagai bentuk ketidakmampuan otoritas pajak dalam menegakkan aturan dan mengumpulkan pajak secara reguler,” tambah dia.
Padahal program yang disebut bertujuan untuk meningkatkan basis pajak itu tak begitu efektif. Pengampunan pajak, atau tax amnesty pertama di 2016-2017 tercatat menghasilkan deklarasi sebesar Rp4.884 triliun. Sementara total uang tebusan mencapai Rp114,54 triliun atau sekitar 0,92 persen dari PDB Indonesia 2016.
Lalu pemerintah kembali meluncurkan pengampunan pajak jilid II pada 2022. Program itu diikuti oleh 247.918 wajib pajak dengan total deklarasi sebesar Rp594,82 triliun dan total Pajak Penghasilan (PPh) yang masuk ke kas negara mencapai Rp60,1 triliun.
Tax amnesty tak berjalan efektif
Dari dua kali pelaksanaan itu, kata Yusuf, pemerintah mestinya menyadari pengampunan tersebut tak berjalan efektif. “Itu mengindikasikan manfaat marginal dari kebijakan ini semakin berkurang. Beberapa faktor memengaruhi hal ini, seperti tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana pajak, kondisi ekonomi saat program dilaksanakan, hingga desain program itu sendiri,” kata dia.
“Tanpa penguatan administrasi pajak dan konsistensi dalam penegakan hukum pasca-amnesti, efektivitas program seperti ini sulit untuk bertahan,” sambungnya.
Terlebih program pengampunan pajak itu diproyeksikan berjalan satu waktu dengan penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Untuk itu, Yusuf mendorong agar pemangku kepentingan mempertimbangkan kembali program Tax Amnesty Jilid III itu.
“Alih-alih pengampunan, stakeholder terkait perlu mendorong penguatan sistem perpajakan melalui digitalisasi, perbaikan regulasi, dan penegakan hukum. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan masyarakat memahami pentingnya kepatuhan pajak melalui edukasi dan sosialisasi yang masif,” tutup Yusuf.
Sumber : Metrotvnews.com
Leave a Reply