PKP Bakal Wajib Cantumkan Kode Barang dan Jasa dalam Faktur Pajak

Pengusaha kena pajak (PKP) harus mencantumkan kode barang dan jasa dalam faktur pajak. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (29/10/2024).

Penyuluh Pajak Ahli Pertama Ditjen Pajak (DJP) Iqbal Rahadian mengatakan fitur pencantuman kode barang atau jasa dalam faktur pajak tersebut bakal tersedia dalam aplikasi coretax administration system.

“Bisa jadi antarperusahaan itu punya kode-kode tersendiri. Nanti, di coretax, akan sama semua. Bapak/Ibu tinggal memilihnya saja di bagian Code. Nanti bisa di-filter,” katanya.

Kodifikasi barang dan jasa yang dilakukan penyerahan diperlukan dalam rangka penyeragaman data barang dan jasa, sekaligus mempermudah DJP dalam melakukan pengawasan.

“Semua [kodifikasi barang dan jasa] akan diatur oleh DJP, Bapak/Ibu tinggal memanfaatkan saja apa yang ada di aplikasi coretax,” ujar Iqbal.

Saat ini, kewajiban mencantumkan informasi BKP/JKP dalam faktur pajak diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-03/PJ/2022 s.t.d.d PER-11/PJ/2022. Secara umum, faktur pajak harus memuat informasi mengenai jenis barang atau jasa yang dilakukan penyerahan.

“Kolom ‘Nama BKP/JKP’ diisi dengan jenis BKP/JKP yang diserahkan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya,” bunyi Lampiran PER-03/PJ/2022 s.t.d.d PER-11/PJ/2022.

Jika BKP yang diserahkan adalah kendaraan bermotor baru, PKP harus mencantumkan merek, tipe, carian, dan nomor rangka dari kendaraan bermotor baru dimaksud. Bila BKP yang diserahkan adalah tanah dan bangunan, PKP harus mencantumkan alamat dari tanah dan bangunan dimaksud.

Selain coretax, ada pula ulasan mengenai teknologi kecerdasan buatan yang dapat memproyeksikan penerimaan negara. Ada juga bahasan terkait dengan insentif PPN kendaraan bermotor listrik dan rencana pemerintah mengejar potensi pajak dari underground economy.

WP Non-PKP Bisa Lihat FP Masukan Lewat Coretax

Selain kewajiban pencantuman kode barang dan jasa dalam faktur pajak, coretax juga memungkinkan wajib pajak non-PKP untuk melihat faktur-faktur yang mencantumkan wajib pajak bersangkutan sebagai pembeli barang kena pajak atau jasa kena pajak (BKP/JKP).

“Kita bisa memberikan flagging. Transaksi dalam faktur ini tidak ada kaitannya dengan saya. Ini bisa kita flagging, lalu diminta klarifikasi data ke si pembuat faktur,” kata Penyuluh Pajak Ahli Pertama DJP Iqbal Rahadian.

Menu e-Tax Invoice akan tersedia dalam aplikasi coretax wajib pajak non-PKP. Menu e-Tax Invoice bagi non-PKP tidak memiliki fitur membuat ataupun submit atas faktur pajak. Namun, wajib pajak non-PKP bisa melihat faktur yang mencantumkan identitasnya. (DDTCNews)

Teknologi AI Bisa Proyeksikan Penerimaan Negara

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) memiliki kemampuan untuk menghitung dan memproyeksikan penerimaan pajak.

Dalam acara Rapat Terbuka Senat: Puncak Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM Tahun 2024, Anggito menjelaskan teknologi AI bisa memperkirakan penerimaan pajak berdasarkan indikator-indikator yang tersedia.

“Saya bisa ngitung penerimaan pajak [pakai AI]. Kita jumlahnya ini, jumlah orangnya segini, jumlah PDB-nya segini, berapa penerimaan pajak, proyeksinya ketemu, sudah. Sudah enggak perlu DJP, enggak perlu Kanwil [DJP], enggak perlu,” katanya. (DDTCNews, Bisnis Indonesia)

Meramu Lagi Insentif PPN Kendaraan Listrik

Pemerintah perlu meramu lagi insentif untuk sektor otomotif agar lebih menggeliat, termasuk industri kendaraan listrik. Harapannya, ekonomi dalam negeri juga bergerak lebih kencang.

Pemerintah sebelumnya telah memberikan insentif untuk kendaraan listrik berupa PPN ditanggung pemerintah yang diatur dalam PMK No. 8/2024. Insentif tersebut diberikan sejak Februari hingga Desember 2024.

Penjualan mobil listrik meningkat selama masa pemberian insentif tersebut. Pada Januari-September 2024, penjualan listrik secara wholesales mencapai 27.549 unit, naik 170% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. (Kontan)

Kejar Pajak dari Underground Economy

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan DJP perlu memburu potensi penerimaan pajak dari penghasilan yang diperoleh dari aktivitas underground economy—kerap disebut pula ekonomi bayangan atau shadow economy—mulai dari gim online hingga judi online.

Menanggapi pernyataan wakil menteri keuangan, Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji menilai pemerintah memang perlu mengikis shadow economy guna optimalisasi penerimaan pajak.

Size dari shadow economy di Indonesia diperkirakan relatif besar. Misal, berdasarkan Medina dan Schneider (2018), shadow economy di Indonesia bisa mencapai 26,6% dari PDB,” katanya. (Bisnis Indonesia/Kompas)

Sepakati Kerja Sama Pajak, Negara G7 Minta PBB Dorong Konsensus

Menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G-7 meminta negara-negara PBB untuk menjalin kerja sama perpajakan dengan tetap mengedepankan konsensus.

Menurut G-7, pembahasan kerja sama perpajakan internasional melalui UN Tax Convention harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspirasi dari setiap negara guna mewujudkan kerja sama pajak yang inklusif dan stabil.

“Kami menegaskan pentingnya konsensus demi memaksimalkan partisipasi terhadap UN Tax Convention dan untuk mendukung terciptanya sistem pajak internasional yang berkelanjutan dan bisa diprediksi,” tulis menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara G-7.

Sumber : DDTC

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only