Apa Itu Program Business Development Services (BDS) dari DJP?

USAHA mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 65,5 juta pada 2023.

Dengan jumlah unit usaha yang fantastis, sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 61% atau senilai dengan Rp9,580 triliun. Selain itu, sektor UMKM menyerap jutaan tenaga kerja.

Besarnya peranan UMKM membuat pemerintah berupaya memberikan perhatian lebih terhadap UMKM. Ditjen Pajak misalnya, menawarkan program pembinaan dan pengembangan usaha khusus untuk UMKM yang disebut Business Development Services (BDS). Lantas, apa itu program BDS?

Program BDS merupakan bagian dari program edukasi perpajakan DJP sejak 2018. Ketentuan BDS di antaranya diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-13/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Business Development Services (BDS).

Berdasarkan surat edaran, program BDS adalah salah satu strategi pembinaan dan pengawasan kepada wajib pajak UMKM dalam membina dan mendorong pengembangan usaha secara berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesadaran, keterikatan, dan kepatuhan terhadap pajak.

Melalui program BDS, DJP berupaya membina dan mendampingi UMKM dengan memberikan beragam materi atau tema pembelajaran. Materi program BDS itu dapat berupa materi perpajakan seperti pelatihan penghitungan pajak terutang, pembukuan dan akuntansi, serta pencatatan.

Selain materi seputar pajak, BDS juga menawarkan berbagai materi lain sesuai dengan kebutuhan UMKM. Materi tersebut seperti branding, digital marketing, ekspor, pengadaan, legal dan perizinan, serta keuangan.

Program BDS dapat dikemas dalam bentuk workshop, pelatihan kewirausahaan, seminar, kelas pajak tematik, dan lain-lain. Saat ini, program BDS telah diterapkan di seluruh KPP Pratama di Indonesia untuk mendukung pengembangan bisnis UMKM.

Merujuk SE-13/PJ/2018, pembinaan UMKM melalui program BDS memang harus dilaksanakan oleh seluruh KPP Pratama. Adapun setiap KPP Pratama harus melaksanakan program BDS minimal 2 kali dalam 1 tahun anggaran.

Dalam menjalankan BDS, KPP Pratama dapat berkoordinasi dengan KP2KP sebagai unit di bawah wilayah kerjanya. Terdapat 2 metode yang dapat dipilih KPP Pratama dalam menjalankan BDS, yaitu independen dan kolaboratif.

Metode independen berarti KPP melaksanakan program BDS secara mandiri tanpa kerjasama dengan instansi lain. Sementara itu, metode kolaboratif berarti KPP bekerjasama dengan instansi, lembaga, asosiasi bisnis, kementerian, serta pihak lain.

Selain materi pembelajaran, KPP Pratama akan menindaklanjuti program BDS dengan membentuk dan mengelola database wajib pajak UMKM peserta program BDS. Database ini dimaksudkan untuk pemberian layanan dan pembinaan lebih lanjut.

KPP Pratama juga dapat menyediakan layanan asistensi dan informasi kepada peserta BDS. Layanan asistensi ini dapat berupa pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan terkait dengan perpajakan yang dilakukan melalui kelas pajak, saluran media sosial, komunitas UMKM, dan lain sebagainya.

Ringkasnya, program BDS menjadi media DJP untuk memberikan membina UMKM. Pembinaan ini juga tidak hanya melulu soal kewajiban perpajakan, tetapi juga materi lain yang dibutuhkan UMKM melalui kelas-kelas dan lokakarya yang ditangani oleh para ahli di bidangnya.

Insentif Pajak Bagi Pelaku UMKM

Selain program pembinaan, pemerintah juga memberikan beragam fasilitas perpajakan untuk pelaku usaha UMKM. Fasilitas tersebut di antaranya berupa tarif PPh final dengan tarif 0,5% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Tarif tersebut berlaku untuk wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) kurang dari Rp4,8 miliar dalam 1 tahun. Namun, wajib pajak hanya dapat memanfaatkan tarif PPh final UMKM tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Untuk wajib pajak orang pribadi, PPh final diberikan maksimal selama 7 tahun; untuk wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma maksimal 4 tahun; dan untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT) maksimal 3 tahun.

Tarif PPh final UMKM sebesar 0,5% tersebut pertama kali diterapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018. Namun, PP 23/2018 sudah dicabut dan digantikan dengan PP 55/2022. Untuk itu, dasar hukum pengenaan PPh Final UMKM kini mengacu pada PP 55/2022.

Sebagai informasi, tarif 0,5% tersebut lebih rendah ketimbang tarif PPh final UMKM yang berlaku sebelum 1 Juli 2018, di mana tarif PPh final dikenakan 1%. Guna mendorong pertumbuhan UMKM, pemerintah memangkas tarif tersebut menjadi 0,5% sejak 1 Juli 2018.

Selain itu, semenjak diundangkannya UU HPP, orang pribadi pelaku UMKM mendapatkan fasilitas omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta. Artinya, PPh final UMKM sebesar 0,5% hanya dikenakan atas omzet di atas Rp500 juta dalam 1 tahun pajak.

Tidak hanya dari sisi PPh, pemerintah juga memberikan fasilitas perpajakan untuk UMKM yang melakukan ekspor. Fasilitas tersebut berupa kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) untuk industri kecil dan menengah (IKM).

Fasilitas itu membebaskan impor dan/atau pemasukan barang serta bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk ekspor serta penyerahan produksi IKM. Pembebasan tersebut juga diberikan atas impor mesin dan barang contoh oleh IKM.

Sumber : DDTC

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only