Pengamat melihat setoran pajak dari para pelaku pekerja informal masih menjadi tantangan bagi pemerintah Presiden terpilih Prabowo Subianto karena tidak seluruhnya terpantau dalam radar fiskus.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyoroti bahwa meningkatnya pekerja sektor informal akan menjadi tantangan bagi sektor perpajakan karena sulitnya pengawasan.
“[Pekerja formal] untuk lebih patuh tentu lebih sulit dibandingkan pekerja karyawan [formal]. Tentu ini akan mempengaruhi kontribusi perpajakan,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Rabu (31/7/2024).
Mengingat, tren struktur ketenagakerjaan Indonesia dalam lima tahun terakhir mayoritas merupakan pekerja informal. Per Februari 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat proporsi pekerja informal mencapai 59,17%, dan 40,83% sisanya pekerja formal.
Meski Fajry tidak dapat menghitung berapa kontribusi perpajakan yang hilang dari radar Direktorat Jenderal Pajak, dirinya menekankan pekerja informal akan menjadi tantangan bagi penerimaan pajak Orang Pribadi (OP) karena basisnya yang lebih kecil.
Dengan kata lain, pekerja informal memiliki upah atau penghasilan lebih kecil dari pekerja formal.
Kondisi ini pula yang mendukung data Bank Dunia dalam studi tahun 2020, bahwa hampir 40% masyarakat kelas menengah (middle class) Indonesia turun kelas ke kategori calon kelas menengah (aspiring middle class).
“Inilah yang diduga menjadi alasan banyak penduduk indonesia yang turun kelas dari middle class menjadi aspiring middle-class. Karena penghasilan dari sektor informal memang lebih kecil dari sektor formal. Kalau penghasilannya lebih kecil maka kontribusi ke penerimaan akan lebih kecil,” jelas Fajry.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini otoritas pajak memiliki tugas yang menantang karena pekerja informal kerap disandingkan sebagai pelaku shadow economy sehingga pelaksanan kewajiban perpajakannya masih rendah.
Menurutnya, seharusnya pemerintah dapat lebih menjaring potensi penerimaan pajak dari pekerja informal melalui Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Untuk aturan sudah ada dalam UU HPP, sebenarnya tinggal kemauan politik saja. Tapi akan menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri Keuangan yang baru,” ujarnya.
NIK NPWP Bakal Dorong Kepatuhan Pekerja Informal
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai berangkat dari UU HPP tersebut, pemerintah telah berhasil mengimplementasi NIK menjadi NPWP.
Melalui pemadanan ini, proses pengawasan Wajib Pajak (WP) OP akan lebih mudah, efektif, dan efisien. Sistem baru ini akan memungkinkan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) mengidentifikasi transaksi pekerja informal seandainya transaksi tersebut harus menyertakan NIK.
Di mana identifikasi tersebut dibantu oleh pasokan data/informasi dari instansi pemerintah dan non-pemerintah sesuai Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Disebutkan, bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Jadi, peningkatan pekerja informal diharapkan tidak mengganggu penerimaan pajak. Proses menjaring lebih banyak pekerja informal sudah dilakukan melalui pemadanan NIK dan NPWP,” jelasnya.
Hingga semester I/2024, penerimaan pajak tercatat turun 7,9% dari periode yang sama tahun sebelumnya, dari Rp970,2 triliun menjadi Rp893,8 triliun.
Sumber : ekonomi.bisnis.com
Leave a Reply