Insentif Fiskal Tingkatkan Investasi Ramah Lingkungan

Kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah telah meningkatkan geliat iklim investasi ramah lingkungan di Indonesia. Berbagai kebijakan fiskal termasuk insentif pajak pun berperan sebagai instrumen katalisator untuk mendorong daya tarik investasi hijau di bidang energi yang efisien.

Insentif tersebut khususnya terhadap investasi yang berhubungan dengan rantai pasok kendaraan listrik. Insentif fiskal diberikan dalam bentuk tax holidaytax allowance, fasilitas pajak pertambahan nilai, dan bea masuk. Berdasarkan data Institute for Essential Services Reform (Lembaga Reformasi Layanan Esensial) dalam periode 2021-2022, Indonesia berhasil menarik komitmen investasi sebesar US$ 20,3 miliar pada rantai pasokan kendaraan listrik.

“Bagian terbesar dari investasi ini diarahkan pada produksi baterai yang mencapai US$ 15 miliar. Insentif fiskal dan kebijakan hilir dalam industri hijau diharapkan dapat mengurangi emisi karbon,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu dalam seminar Energy Transition Mechanism: Asean Country Updates di Jakarta, pada Rabu (23/8/2023).

Febrio mengungkapkan, pemerintah melakukan mobilisasi dana melalui pembiayaan inovatif dengan menerbitkan green sukuk sebesar US$ 6,2 miliar dan obligasi SDG hingga US$ 577 juta baik di tingkat global maupun nasional, yang diharapkan dapat mengurangi sekitar 10,6 juta emisi karbon dioksida.

Pemerintah juga telah menerbitkan kerangka peraturan untuk menerapkan penetapan harga dan pajak karbon. Kebijakan ini akan memanfaatkan instrumen perdagangan karbon dan nonperdagangan, salah satunya pajak karbon dan pasar karbon. “Hal ini untuk menginternalisasi biaya eksternal emisi gas rumah kaca berdasarkan prinsip pencemar membayar. Selain itu, Indonesia berencana untuk melaksanakan uji coba pasar karbon ini pada akhir tahun ini yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan,” kata Febrio.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut inovasi pembiayaan menjadi kunci penting untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Berbagai kebijakan fiskal termasuk insentif pajak berperan sebagai instrumen katalisator untuk mendorong daya tarik investasi hijau di bidang efisiensi energi. “Melalui insentif fiskal dan inovasi instrumen pembiayaan, kita punya kekuatan untuk membuka jalan bagi perubahan yang berkelanjutan,” ujar dia di Jakarta pada Selasa (22/8/2023).

Pemerintah Indonesia terus mendayagunakan APBN untuk mendukung berbagai proyek terkait isu perubahan iklim. Sejumlah upaya telah dilakukan antara lain melalui Penandaan Anggaran Perubahan Iklim/Climate Budget Tagging (CBT) serta peluncuran green sukukgreen bondsblue bonds, dan SDG bonds.

“Kita juga mengeluarkan sejumlah insentif fiskal untuk menarik investasi swasta dalam proyek dan industri hijau. Antara lain seperti tax holidaytax allowance, serta berbagai fasilitas dalam PPN, pajak impor, dan pajak properti,” ungkap Sri Mulyani.

Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa proses menuju pembangunan ramah lingkungan masih menemui sejumlah tantangan. “Hambatan finansial, yang ditandai dengan tingginya biaya di muka dan terbatasnya akses permodalan membayangi jalan menuju pembangunan gedung dan infrastruktur berkelanjutan dengan prinsip efisiensi energi,” ungkap dia.

Kebutuhan Investasi

Investasi yang diperlukan untuk membuat bangunan ramah lingkungan tidaklah sedikit. Menkeu menuturkan berdasarkan data IFC, wilayah Asia Pasifik membutuhkan investasi sebesar US$ 17,8 triliun. Sementara di Indonesia sendiri diperkirakan membutuhkan US$ 200 miliar untuk kebutuhan investasi dalam membuat bangunan ramah lingkungan. “Dengan kata lain, pemerintah harus me-leverage berbagai opsi pembiayaan untuk mendukung proyek-proyek bangunan ramah lingkungan di Indonesia. Ini adalah tantangan yang membutuhkan solusi inovatif dan upaya kolaboratif tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi seluruh negara anggota Asean,” ujar dia.

Sri Mulyani menegaskan bahwa langkah menuju efisiensi energi tidak bisa dilakukan sendirian. Perlu kolaborasi dan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, industri, serta masyarakat untuk bekerja sama demi mewujudkan masa depan di mana efisiensi energi menjadi fondasi dari pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Asean.

Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai insentif pajak dan peningkatan daya saing sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci untuk meningkatkan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) masuk ke Indonesia.

Menurut Yusuf, hal itu perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi meningkatnya aliran FDI ke Asean, kendati Singapura masih di urutan teratas penerima aliran modal tersebut. “Sebenarnya insentif pajak itu umum dan lumrah dipakai untuk menarik minat investor. Tapi jangan sampai kita terjebak tarif pajak murah dengan negara yang tidak tepat, salah satunya Singapura,” kata dia.

Yusuf menyebut Singapura lebih unggul dibandingkan Indonesia soal insentif dan tarif pajak yang relatif lebih rendah. Namun, dia mengingatkan Indonesia perlu hati-hati agar tidak terjebak perang tarif pajak yang rendah untuk memikat investor jika terus membandingkan diri dengan Singapura. “Sekali lagi kalau komparasi dengan Singapura, harus hati-hati karena Singapura banyak perbedaannya. Ketika kita tidak bisa mengejar dan hanya andalkan tarif pajak yang rendah, khawatirnya kita justru akan menggerus potensi pajak yang seharusnya bisa kita dapatkan. Saya kira itu perlu menjadi catatan,” kata dia.

Yusuf menilai Indonesia perlu memberikan insentif yang tepat dan sesuai dengan karakteristik ekonomi Indonesia. Di sisi lain, ia tidak menampik Indonesia perlu belajar dari Singapura yang dikenal sebagai hub perdagangan internasional soal efisiensi logistik. Begitu pula soal stabilitas hukum, politik dan HAM Singapura yang relatif lebih unggul.

Yusuf menambahkan, daya saing SDM Indonesia juga perlu ditingkatkan untuk bisa menarik lebih banyak FDI ke Tanah Air. Terakhir, regulasi yang sesuai dan konsisten juga mendapat sorotan penting untuk bisa menarik minat investasi asing. Menurut dia, penting untuk menciptakan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan investor tetapi di saat bersamaan juga dapat diterima semua kepentingan. “Artinya, konsisten dan dapat diterima itu, dia berlaku tidak hanya pada periode pemerintahan tertentu saja tetapi juga dalam jangka menengah hingga panjang. Dan dapat diterima. Jangan sampai regulasinya bagus untuk menarik investor tapi ada poin-poin yang tidak bisa diterima pekerja. Memang jadi tantangan tapi ya itulah faktanya,” kata Yusuf.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only