Jumlah kasus penderita COVID-19 diperkirakan lebih dari 1 juta orang di seluruh dunia (per 7 April 2020). Perkiraan tersebut dilihat dari jumlah kasus baru per hari yang tumbuh secara eksponensial. Saat ini, pandemik COVID-19 telah menyebar di 203 negara dengan persentase tingkat kematian sebesar 20 persen secara global.
Persentase tingkat kematian selalu meningkat setiap harinya, begitu pula dengan munculnya jumlah kasus baru. Dunia dihadapkan pada kekhawatiran resesi global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hingga saat ini, vaksin ataupun obat untuk menyembuhkan penderita COVID-19 belum ditemukan. Satu-satunya cara untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 adalah melalui karantina diri selama 14 hari.
Beberapa negara melaksanakan kebijakan lockdown untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Tetapi, ada beberapa negara yang tidak melakukan lockdown dan lebih memilih tes secara masal atau melakukan himbauan untuk menerapkan physical distancing.
Bagi beberapa negara berkembang, opsi untuk melakukan lockdown akan sangat berdampak bagi kehidupan ekonomi setiap penduduknya. Kebijakan lockdown mengharuskan setiap aktivitas perekonomian dihentikan dan pemerintah harus menyediakan berbagai kebutuhan pokok penduduknya.
Di lain sisi, kebijakan lockdown adalah satu-satunya cara paling efektif untuk mengurangi kemunculan jumlah kasus baru. Sebagai contoh, sejak Italia memberlakukan lockdown, jumlah kasus baru COVID-19 menurun drastis bahkan tidak adanya kemunculan kasus baru per hari.
Negara-negara yang belum memberlakukan lockdown memiliki alasan sendiri atas kebijakan tersebut. Beberapa negara yang belum melaksanakan lockdown seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Indonesia. Alasan utama negara tersebut belum menerapkan kebijakan lockdown adalah faktor ekonomi.
Sebagai contoh, Indonesia merupakan negara berkembang yang 50 persen penduduknya bekerja pada sektor informal. Pekerja yang berada di sektor informal rata-rata tidak memiliki jaminan hari tua, jaminan kesehatan, dan tunjangan rutin setiap bulan.
Pekerja tersebut rata-rata bekerja dengan upah harian, sehingga jika tidak bekerja selama 1 hari maka pekerja tersebut tidak mendapatkan upah. Besarnya persentase penduduk tersebut, menyebabkan pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kebijakan PSBB berbeda dengan kebijakan lockdown. Kebijakan PSBB membatasi kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah, sedangkan lockdown melakukan pembatasan seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah. Beberapa contoh penerapan PSBB adalah peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat umum.
Selama penerapan kebijakan PSBB, pemerintah memberikan beberapa stimulus fiskal bagi rumah tangga dan perusahaan di Indonesia. Stimulus fiskal ini diharapkan dapat menjaga ketahanan finansial bagi setiap rumah tangga dan perusahaan yang tidak optimal berproduksi selama masa PSBB.
Langkah fiskal Indonesia jilid pertama adalah membantu masyarakat yang penghasilannya terdampak seperti menambah penerima manfaat kartu sembako, memberi subsidi bunga perumahan untuk 40 persen masyarakat miskin, menyalurkan kartu pra-kerja bagi masyarakat miskin, mempercepat kegiatan dana desa, dan mempercepat pencairan belanja negara.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan kebijakan jilid 2 untuk menambah daya beli masyarakat. Kebijakan tersebut seperti tidak memungut pajak bagi pekerja industri manufaktur, menurunkan biaya kredit, dan menangguhkan pembayaran kredit.
Negara-negara di dunia juga menghadapi ancaman resesi ekonomi akibat pandemik COVID-19. Dalam pertemuan negara-negara G20, disepakati beberapa poin untuk menghilangkan pandemik COVID-19. Kesepakatan yang terbentuk memiliki visi untuk mengupayakan agar krisis kemanusiaan dan kesehatan tidak menjalar ke krisis bidang ekonomi, sosial, dan keuangan.
Kesepakatan tersebut meliputi melakukan koordinasi untuk merespons kebijakan dalam menghadapi pandemik COVID-19 secara global, melaksanakan kebijakan luar biasa dalam bentuk fiskal, moneter, dan sektor keuangan dengan biaya besar dan skema tidak biasa.
Kemudian, memprioritaskan program kesehatan, perlindungan sosial, dan perlindungan dunia usaha serta menjaga stabilitas keuangan. Terakhir, melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan untuk memastikan ketersediaan likuiditas global dalam menghadapi arus modal keluar.
Amerika Serikat sebagai salah satu anggota G20 mengucurkan dana kebijakan fiskal hingga mencapai 2 triliun US dollar. Negara lain seperti Tiongkok dan Singapura juga menerapkan kebijakan fiskal yang masing-masing besarannya 1,3 triliun RMB dan 54,5 miliar dollar Singapore.
Jika dilihat dari persentase terhadap PDB, Australia mengalokasikan dana penanganan COVID-19 sebesar 10 persen dari PDB, sedangkan Inggris sebesar 4 persen dari PDB.
Indonesia sebagai negara yang terdampak cukup parah akibat pandemik COVID-19 mengalokasikan dana stimulus fiskal berkisar 118,3 triliun – 121,3 triliun. Jika dipersentasikan terhadap PDB, besarannya tidak mencapai 1 persen dari PDB. Bagi sebagian kalangan, alokasi penanganan pandemik COVID-19 Indonesia tergolong relatif kecil, pemerintah seharusnya menambah besaran dana penanggulangan pandemik tersebut.
Di lain sisi, adanya kebijakan tersebut menyebabkan defisit anggaran melebar menjadi 2,5 persen PDB, bergesr 0,8 persen dari proyeksi defisit pemerintah yang berkisar 1,76 persen. Jika pemerintah menambah alokasi dana penanganan pandemik COVID-19, maka defisit akan semakin lebar terhadap PDB Indonesia.
Beberapa pakar memprediksi puncak dari pandemik di Indonesia akan terjadi pada akhir Mei sampai Juni, dan mulai menurun pada akhir Juli hingga Agustus. Artinya pemerintah memiliki waktu kurang lebih 4 bulan untuk memastikan pasokan kebutuhan pokok penduduknya dapat tercukupi.
Apabila jumlah kasus COVID-19 terus bertambah dan tidak menunjukan penurunan dalam 6 bulan ke depan, pertumbuhan perekonomian Indonesia diprediksi bisa tumbuh 0 persen bahkan -0,4 persen.
Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0 persen hingga -0,4 persen, maka segala upaya pemerintah dalam memberikan stimulus fiskal kepada rumah tangga dan perusahaan menjadi tidak efektif.
Selain permasalahan ekonomi, pemerintah juga dapat memperhatikan permasalahan kesehatan 260 juta penduduk Indonesia, yaitu dengan menerapkan lockdown untuk wilayah yang memiliki jumlah kasus COVID-19 terbanyak, sedangkan untuk wilayah yang masih sedikit ataupun belum ada kasus COVID-19 dapat menerapkan PPSB ataupun social distancing, sehingga perekonomian Indonesia masih bisa tetap tumbuh walaupun akan melambat dibandingkan triwulan sebelumya.
Dengan adanya klasifikasi untuk wilayah prioritas penanganan kasus COVID-19, maka dana stimulus fiskal yang diberikan dapat lebih efektif dan efisien. Pemetaan wilayah yang masuk zona merah atau paling terdampak COVID-19 dapat menjadi wilayah prioritas dalam pemberian kebutuhan pokok penduduknya di tengah kebijakan lockdown.
Hingga saat ini, kebijakan lockdown yang pernah dilakakan oleh China berhasil menekan kemunculan kasus baru, Namun, segala upaya yang telah dilakukan pemerintah patut untuk didukung dan dipatuhi sehingga kepanikan dan ketakutan setiap penduduk Indonesia atas kasus ini dapat segera hilang.
Sumber: suara.com
Leave a Reply