Jakarta – Kalau membandingkan kondisi setahun lalu dengan sekarang, maka kita akan merasakan betapa cepatnya dunia berubah. Perubahan yang cepat ini menuntut seluruh pihak untuk menyesuaikan diri, termasuk bank sentral. Ya, arah kebijakan moneter tahun lalu dengan sekarang sangat berbeda. Tahun lalu, sepertinya berbagai bank sentral berbondong-bondong mengerek suku bunga acuan. Adalah Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserves/The Fed, yang memicu ‘huru-hara’ ini. Sepanjang 2018, The Fed menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali, terbanyak sejak normalisasi kebijakan moneter ditempuh pada 2015.
Kebijakan moneter ekstra ketat ini bukan tanpa alasan. Tahun lalu, ekonomi AS bisa dibilang tumbuh ‘ugal-ugalan’. Pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintahan Presiden Donald Trump sangat efektif untuk mendorong ekspansi dunia usaha dan rumah tangga. Puncak dampak pemangkasan tarif PPh terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi pada kuartal II-2018. Kala itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam mencapai 4,2% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly anualized). Laju tercepat sejak kuartal III-2014. Apabila ekonom melaju terlalu cepat, maka risiko yang paling besar adalah terjadi overheating. Permintaan tumbuh terlalu cepat tanpa bisa diimbangi oleh sisi permintaan, sehingga menciptakan tekanan inflasi yang terlalu tinggi. Oleh karena itu, The Fed bertindak sebagai rem agar ekonomi tidak terlalu ngebut dan kebablasan. Caranya adalah mencoba mengendalikan sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan. Namun kenaikan suku bunga acuan memiliki efek samping, yaitu membuat imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS melesat. Instrumen seperti obligasi pemerintah AS adalah aset aman (safe haven), jadi kalau imbalannya naik tentu semakin menarik. Sudah aman, cuan pula. Arus modal pun menyemut di sekitar dolar AS. Tingginya minat pasar membuat dolar AS menjadi sangat kuat, bahkan menjadi raja mata uang dunia. Dolar AS yang begitu kuat membuat mata uang negara lain tertekan. Akibatnya, berbagai bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuan untuk menarik arus modal asing agar mata uang tidak melemah terlalu dalam. Salah satunya adalah Bank Indonesia (BI). Demi menjaga agar pasar keuangan domestik tetap atraktif, BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali atau 175 basis poin (bps).
Cerita yang Berbeda Tahun Ini
Itu kisah tahun lalu. Sekarang kondisinya jauh berbeda, yang memaksa bank sentral harus beradaptasi dengan cepat. Setelah mencapai puncaknya pada pertengahan 2018, efek pemotongan tarif PPh di AS mulai pudar. Pertumbuhan ekonomi mulai melambat, nitro sudah habis. Semua kembali normal.
Kalau hanya perlambatan ekonomi gara-gara dampak pemotongan tarif PPh mungkin tidak seberapa. Namun ada lagi hal-hal yang membuat perekonomian dunia dalam masalah.
Setidaknya ada dua sentimen negatif yang menjadi tema besar pada 2019. Pertama adalah perang dagang AS-China. Sebenarnya isu ini sudah ada sejak 2018, tetapi belum tuntas dan berlanjut ke 2019.
Bahkan ada potensi perang dagang AS-China semakin parah. AS berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk China senilai US$ 300 miliar. Jika ini benar-benar dieksekusi, maka sudah pasti China akan melakukan serangan balasan. Berbalas pantun bea masuk menjadi kian sengit.
AS dan China adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Kala keduanya saling hambat, maka akan mempengaruhi ekspor dan investasi berbagai negara. Arus perdagangan seret, rantai pasok mampet. Jika ini terjadi, dan memang sepertinya sudah terjadi, maka perlambatan ekonomi global adalah sebuah takdir yang tidak bisa dihindari.
Sentimen kedua adalah berlarutnya proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau Brexit. Setelah tiga tahun sejak referendum, London dan Brussel belum kunjung sepakat soal perjanjian perpisahan ini.
Bahkan proses Brexit yang begitu menguras energi, waktu, dan tentunya dana sudah memakan korban. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan mundur dari jabatannya per 7 Juni. Kini May tinggal menunggu penggantinya, yang sedang menjalani voting di lingkup Partai Konservatif.
Survei Reuters yang dihelat pada 11-15 Juni menyebutkan potensi hard Brexit alias No Deal Brexit (Inggris tidak mendapatkan apa-apa dari perpisahan dengan Uni Eropa) mencapai 25%. Naik dibandingkan survei sebelumnya yang dilakukan bulan lalu yaitu 15%.
Apabila No Deal Brexit sampai kejadian, maka Inggris akan kesulitan dengan tetangganya di Eropa Daratan karena berlaku aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yaitu wajib ada bea masuk. Biaya perdagangan menjadi lebih mahal dan bisa menyurutkan arus pertukaran barang.
Bank Sentral Inggris (BoE) sudah memberi wanti-wanti bahwa No Deal Brexit akan membuat ekonomi Inggris mengalami kontraksi alias negatif. Bahkan kontraksinya bisa lebih parah ketimbang kala krisis keuangan global 2009.
Inggris adalah perekonomian nomor lima dunia, perannya cukup sentral. Jadi ketika Inggris bermasalah, maka dampaknya bisa mengglobal.
Perang dagang dan Brexit menjadi penyebab utama perlambatan ekonomi global tahun ini. Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 dari 2,9% menjadi 2,6%.
Jadi sudah jelas, ekonomi sudah tidak ngebut lagi. Bahkan ada risiko ekonomi global mogok. Oleh karena itu, bank sentral harus mengambil peran yang berbeda.
Jika tahun lalu tugas bank sentral adalah sebagai rem, maka tahun ini perannya berubah menjadi pedal gas. Bank sentral menjadi agen pendorong pertumbuhan ekonomi.
Bahkan The Fed yang tahun lalu galak kini menjadi sangat kalem. Gubernur Jerome ‘Jay’ Powell menyatakan bahwa The Fed akan memberikan respons kebijakan yang sesuai dengan perkembangan terkini.
Aroma pelonggaran kebijakan moneter pun merebak. Pasar memperkirakan The Fed akan memulai siklus pemangkasan suku bunga bulan depan. Sampai akhir 2019, Federal Funds Rate bisa turun 2-3 kali.
Tidak cuma AS, bank sentral berbagai negara pun tidak lagi hawkish bahkan sebagian sudah menurunkan suku bunga acuan seperti Bank Sentral Australia (RBA) dan Bank Sentral India (RBI). Teranyar, Bank Sentral Korea Selatan (BoK) pun mulai berpikir untuk menurunkan suku bunga acuan.
Mengutip notula rapat BoK edisi Mei, seorang anggota dewan gubernur mulai menyuarakan penurunan suku bunga. Meski pada akhirnya suku bunga acuan ditahan di 1,75%, tetapi mulai ada suara untuk pelonggaran moneter.
Bagaimana dengan BI? Gubernur Perry Warijyo menyatakan ruang menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate memang ada kalau melihat inflasi yang rendah dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun ada faktor lain yang dipantau oleh MH Thamrin.
“Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran,” kata Perry.
Arah suku bunga global saat ini bergerak ke selatan alias turun. Namun penurunan suku bunga bukanlah obat yang manjur diterapkan di semua negara, karena kondisi objektif yang berbeda-beda.
Indonesia, misalnya, masih punya masalah dengan defisit transaksi berjalan (current account deficit). Jika suku bunga turun, maka ekonomi akan bergerak cepat dan impor membengkak. Akibatnya defisit transaksi berjalan akan memburuk, yang mengancam stabilitas nilai tukar rupiah.
Well, penentuan kebijakan (terutama ekonomi) tidak selalu berkutat dengan angka dan hal-hal yang terukur. Terkadang membuat kebijakan adalah sebuah seni (sense of art) yang melibatkan rasa dan hal-hal kualitatif.
Sumber : CNBC Indonesia
Leave a Reply