Menutup Maret 2019, setidaknya ada empat peristiwa penting yang terjadi di bidang perpajakan. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan penghargaan kepada 30 wajib pajak (WP) ‘kelas kakap’, terdiri atas 24 WP badan dan 6 WP orang pribadi sebagai pembayar pajak terbesar kepada negara.
Penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari WP besar itu mencapai Rp 418,73 triliun atau naik dari tahun lalu sebesar Rp 361,84 triliun. Jumlah tersebut ekuivalen dengan 31% dari realisasi penerimaan pajak yang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 mencapai Rp 1.316 triliun.
Kedua, pemerintah merilis berita bahwa penerimaan pajak pada Februari 2019 sebesar Rp 160,85 triliun atau tumbuh melambat di angka 4,66%. Padahal tahun lalu, dengan segala aneka dinamikanya, penerimaan negara pada bulan yang sama dari pos pajak masih mampu tumbuh 13,48%.
Ketiga, Kementerian Keuangan memutuskan untuk menarik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce). Pendekatan baru tampaknya diperlukan untuk menjaring pajak e-commerce.
Keempat, akhir Maret adalah tenggat penyerahan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan). Dengan prinsip self assessment, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada WP melaporkan seluruh kewajiban pajaknya.
Sayangnya, sampai 1 April 2019, baru 11 juta WP yang menyampaikan SPT atau sekitar 61% dari total 18,3 juta WP. Benang merah yang dapat ditarik dari empat hal di atas adalah semacam alarm peringatan bagi pemerintah untuk bekerja lebih keras lagi. Terulangnya kekurangan (shortfall) penerimaan pajak serius membayangi. Pada APBN 2018, misalnya, penerimaan perpajakan mengalami kekurangan Rp 108,1 triliun dari sasaran awal.
Peringatan tersebut tentu saja bukan mengada-ada. Porsi penerimaan pajak sampai Februari 2019 baru mencapai 10,20% dari target yang ditetapkan APBN 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun. Kekhawatiran tidak tercapainya target penerimaan pajak berimbas pada nilai relatifnya. Pemerintah menentapkan sasaran rasio pajak tahun ini bisa menembus 12,2%.
Kendati menanjak dari posisi 11,5% pada tahun lalu, tax ratio Indonesia masih kalah disbanding negara tetangga di Asean. Contohnya Laos, yang memiliki tax ratio terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 12,94%, kemudian Filipina 13,68%, Singapura 13,71%, Malaysia 13,76%, Kamboja 15,26%, dan Thailand 15,42% (Investor Daily, 14/3).
Alhasil, upaya merealisasikan target rasio pajak pada kenyataannya masih mengandalkan pada WP besar. Tahun ini, WP besar diberi ‘jatah’ menyumbang sebesar Rp 498 triliun. Jumlah tersebut akan mengontribusi 31,57% dari pendapatan pajak dengan kenaikan 19% dari realisasi 2018.
Fenomena besarnya porsi kontribusi pajak dari WP besar terhadap total penerimaan pajak sudah semestinya diwaspadai. Sadar atau tidak, kondisi keuangan Negara memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap para WP besar dengan berbagai macam risiko yang dikandungnya.
Kalau kinerja sektor usaha (WP besar badan) itu sedang turun, misalnya, atau WP orang pribadi tengah mengalami masalah finansial, secara langsung atau tidak langsung akan berdampak ke penerimaan negara. Isu keberlangsungan (sustainability) penerimaan pemerintah dipertaruhkan di masa depan.
Besarnya kontribusi WP besar juga menunjukkan tingginya ketimpangan pendapatan maupun kekayaan di Indonesia. Indeks Gini memang menunjukkan tren penurunan selama beberapa tahun terakhir. Indeks Gini yang berbasis pada kekayaan –kalaupun datanya ada– tentu lebih tinggi lagi.
Ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan berimbas pada struktur penerimaan pajak. Dari sini muncul persoalan klasik ‘dahulu mana ayam dan telur’. Ketimpangan pendapatan menentukan besaran penerimaan perpajakan, sementara kebijakan perpajakan ditujukan untuk memperbaiki distribusi pendapatan.
Persoalan yang lebih krusial adalah telurnya sekarang berada dalam satu keranjang, jika pecah satu maka pecah semuanya. Intinya, struktur bangunan penerimaan perpajakan sangat rapuh. Perimbangan antara 24 WP besar badan dengan 6 WP besar orang pribadi sudah dengan sendirinya menjelaskan hal ini.
Kerapuhan struktur pajak terkonfirmasi dari data makro. Penerimaan PPh didominasi oleh PPh badan. PPh badan sangat rentan terhadap gejolak perekonomian. Turunnya PPh badan karena anjloknya harga beberapa komoditas andalan beberapa waktu lalu seolah menjadi bukti sahihnya.
Kerapuhan struktur penerimaan pajak juga tercermin dari perimbangannya dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Penerimaan PPN yang merupakan pajak tidak langsung berada di atas PPh orang pribadi yang notabene adalah pajak langsung.
Per definisi, beban pajak tidak langsung bisa digeserkan kepada pihak lain. Pembayar pajak bukan lagi sebagai penanggung beban pajak. Sementara, pembayar pajak langsung sekaligus adalah penanggung bebannya. Akibatnya, ketimpangan distribusi beban akhir pajak (tax incidence) juga besar.
Untuk menanggulangi isu kesinambungan penerimaan negara, perolehan PPh orang pribadi semestinya superior daripada PPh badan. Bagaimanapun dinamika perekonomian, pendapatan upah/ gaji karyawan jarang (untuk tidak mengatakan mustahil) turun. Intinya, PPh orang pribadi lebih andal.
Guna mengurangi ketimpangan distribusi beban akhir pajak, praktik terbaik (best practice) secara internasional menyarankan penerimaan pajak langsung seyogianya lebih tinggi daripada pajak tidak langsung. Oleh karena itu, reformasi perpajakan yang tengah digeber Kementerian Keuangan harus bisa merombak dua kondisi di atas.
Lebih lanjut, Direktorat Jenderal Pajak mesti lebih giat melakukan intensifikasi pajak guna menggali potensi penerimaan pajak dari WP kelas lainnya. Konkretnya, untuk mengejar target rasio pajak, sokongan dari WP usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta WP orang pribadi golongan menengah tetap diperlukan.
Dorongan untuk memperoleh penerimaan ekstra dari UMKM sangat logis. Porsi 99% bangun usaha adalah UMKM. Faktanya, kebocoran pajak di UMKM masih terjadi, seperti penerbitan faktur fiktif, pengecilan omzet supaya tetap dianggap UMKM, dan tidak mendaftar sebagai pengusaha kena pajak padahal sudah masuk kategori pengusaha kena pajak.
Modus yang sama juga terjadi pada pekerjanya. UMKM mampu menyerap 97% tenaga kerja atau ekuivalen dengan 115 juta jiwa. Dari jumlah itu terdapat potensi sekitar 85 juta WP yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan. Bahkan kalau dikurangi dengan mereka yang pendapatannya di bawah PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) sekalipun, angkanya masih sangat material.
Materialnya potensi penerimaan yang belum tergarap niscaya lebih besar lagi jika mempertimbangkan keakuratan laporan pajaknya. Dari pekerja yang memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), berapa yang melaporkan SPT? Dari yang melaporkan SPT, berapa yang mengisi dan membayar pajaknya dengan benar?
Dengan skema problematika di atas, langkah awal paling realistis dilakukan pemerintah untuk saat ini adalah meminimisasi praktik penyimpangan dalam pembayaran pajak. Hal ini relevan untuk mengonversi potensi penerimaan menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak tadi.
Langkah berikutnya adalah mentransformasi profil UMKM menjadi UMKM yang modern. UMKM di Indonesia lebih banyak bergerak di sektor primer yang bukan merupakan subjek pajak. Negara lain terutama di Asean, UMKM lebih banyak bergerak di sector jasa yang lebih mapan daripada sektor primer.
Besarnya peran UMKM yang bergerak di sektor primer menyebabkan kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB masih signifikan (13,1%). Angka ini cukup tinggi jika merujuk pada rata-rata kontribusi sektor pertanian di Negara berpendapatan menengah dan negara maju yang masing-masing sebesar 8,4% dan 1,1%.
Besarnya kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB diklaim menjadi salah satu kendala tax ratio. Bukti empiris lintas negara menunjukkan ada korelasi negatif antara sektor per tanian dengan rasio pajak. Hipotesis ini terbukti di Indonesia. Kontribusi sektor pertanian ke penerimaan pajak hanya 1,9%.
Upaya-upaya di atas, dalam skala yang lebih luas, sejatinya adalah memformalkan ekonomi bawah tanah (underground economy) menjadi ekonomi riil. Ironisnya, ekonomi bawah tanah mencakup pula ekonomi digital yang dianggap sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi.
Alhasil, jika semua ikhtiar di atas tuntas, penerimaan pajak akan naik signifikan, meski tanpa kenaikan tarif dan ekstensifikasi pajak. Dalam kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal, tidak bijak apabila asa mendongkrak rasio pajak dilakukan dengan ekstensifikasi pajak. Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa perbaikan ekosistem yang melingkupinya niscaya akan kontraproduktif, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi masyarakat luas.
Sumber : beritasatu.com
Leave a Reply