Perlu Dorong Manufaktur untuk Tambah Lapangan Kerja

Guna memperkuat struktur perekonomian Indonesia, pemerintah mes­ti memacu produktivitas sektor riil nasional, terutama melalui pembangunan industri manufaktur, baik untuk tujuan substitusi impor maupun mendorong kenaikan eks­por bernilai tambah.

Sebab, industri manufaktur dinilai men­jadi kunci kemajuan dan pertumbuhan eko­nomi karena merupakan salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbanyak, sehingga mendukung daya beli dan pendapatan ma­syarakat. Kekuatan daya beli masyarakat dari sektor riil tersebut akan menopang pertumbuhan sektor lain, terutama jasa.

Ekonom UMY, Achmad Ma’ruf, mengemu­kakan semua pemangku kepentingan perlu mendukung industri nasional, khususnya manufaktur, sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional yang mampu menyeret pertumbuhan sektor lain, seperti sektor jasa.

“Saat ini, peranan sektor manufaktur terhadap perekonomian terlihat menurun hingga di bawah 20 persen. Padahal, kon­tribusi sektor ini mencapai puncaknya di angka 29 persen beberapa tahun silam,” pa­par dia, ketika dihubungi, Senin (18/3).

Menurut dia, penurunan peran manu­faktur tersebut berdampak pada penurunan penciptaan lapangan kerja karena sektor itu menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar, setelah sektor pertanian.

“Jika penyerapan kerja tidak berkem­bang, akan berdampak pada penurunan daya beli dan pendapatan masyarakat. Ini berpotensi menghambat permintaan sektor lain, seperti sektor jasa,” jelas Ma’ruf.

Contohnya, jasa transportasi online ti­dak akan berkembang jika sektor riil seba­gai sumber permintaan tidak tumbuh. Jadi, sektor riil yang kuat akan menjadi basis permintaan bagi sektor jasa, selain menjadi sumber penerimaan pajak bagi negara.

Oleh karena itu, Ma’ruf mengharapkan agar semua lembaga negara terkait ikut serta mendukung pembangunan industri manu­faktur nasional agar bisa berkembang di da­lam negeri dan bersaing di pasar global. “Yang dibutuhkan pengusaha adalah kelancaran berusaha, sesuai dengan aturan yang ber­laku. Itulah harapan pengusaha,” tukas dia.

Ma’ruf berpendapat, untuk mengembang­kan sektor jasa syarat utamanya adalah mem­bangun sektor riil yang kuat. Ibaratnya, sektor riil adalah kuda yang akan menarik gerobak, yaitu sektor jasa. “Jadi kuda harus di depan. Tidak bisa dibalik, gerobak (sektor jasa) yang di depan untuk menarik kuda,” jelas dia.

Transformasi Ekonomi

Sementara itu, ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan perekonomian In­donesia kini mengalami tripel defisit, yakni defisit perdagangan pangan, produk ma­nufaktur, serta minyak dan gas (migas). Hal itu terutama disebabkan oleh transformasi ekonomi yang tidak sempurna.

“Indonesia kini dinilai bukan lagi berso­sok negara agraris, namun tak pernah ber­alih status menjadi negara industri. Boleh jadi, Indonesia mengalami gejala dini de­industrialisasi (premature deindustrializa­tion),” papar Faisal, seperti dikutip dalam blog pribadinya.

Menurut dia, tak dinyana Indonesia menjelma sebagai perekonomian jasa. Hampir satu dasawarsa peranan sektor jasa (non-tradables) dalam perekonomian atau produk domestik bruto (PDB) melampaui sektor penghasil barang (tradables).

Sejak 2012, laju pertumbuhan semua sek­tor penghasil barang selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Sebaliknya, pada 2018, 11 dari 14 sektor jasa lebih bersinar dari per­tumbuhan rerata perekonomian (PDB).

“Pada tahun 2018, sektor jasa menyum­bang 59 persen dalam PDB. Sebaliknya, pe­ranan sektor industri manufaktur mentok di aras tertinggi 29 persen, setelah itu susut hampir setiap tahun hingga di bawah 20 persen pada 2018,” papar Faisal.

Negara-negara maju umumnya meng­alami penurunan peran manufaktur dalam perekonomian ketika pangsa sektor manu­faktur dalam PDB sudah mencapai sekitar 35 persen.

Sementara itu, di sisi konsumsi, penge­luaran rerata per kapita untuk barang masih relatif tinggi. Bahkan, pengeluaran untuk makanan sekalipun mencapai lebih dari separuh pengeluaran total, belum menun­jukkan tanda-tanda penurunan.

“Tak pelak lagi, defisit perdagangan pa­ngan (ekspor minus impor pangan) tak kunjung turun secara konsisten, bahkan me­ningkat pada 2018. Indonesia telah meng­alami defisit pangan sejak 2007,” ujar Faisal.

Selain pangan, Indonesia mengalami de­fisit untuk produk manufaktur dan migas. Jadi, kita mengalami triple deficits. Penopang ekspor sebatas komoditas primer yang har­ganya berfluktuasi. “Tak ayal, kita kian kerap mengalami defisit perdagangan barang dan mencapai puncaknya tahun lalu kala defisit perdagangan mencapai rekor tertinggi se­panjang sejarah,” tukas dia.

Sumber: Koran-Jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only