Wajib Tambah Biaya bagi Pasien Peserta BPJS Kesehatan

JAKARTA. Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus merogoh kocek tambahan untuk bisa mendapat layanan kesehatan, selain kewajiban membayarpremi.

Dengan alasan mengendalikan mutu, biaya serta mencegah penyalagunaan fasilitas kesehatan, lewat Kementerian Kesehatan, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) No 51/2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dalam Progam Jaminan Kesehatan.

Ada dua skema biaya tambahan ini. Pemerintah menggunakan istilah urun biaya atas tambahan biaya. Pertama, pengenaan biaya sebesar Rp 10.000, Rp 20.000 perkunjungan rawat jalan. Urun biaya sampai Rp 350.000 untuk rawat jalan paling bayak 20 kali selama tiga bulan. Kedua, urun biaya 10% atau nominal tertentu maksimal Rp 30 juta untuk rawat jalan.

Berlaku sejak pertengahan Desember 2018, aturan ini berlaku bagi peserta BPJS Kesehatan penerima upah, peserta mandiri, dan bukan pekerja atau non subsidi negara. Ini artinya, khusus untuk penerima bantuan iuran jaminan kesehatan, baik itu dari anggaran negara maupun anggaran daerah tak wajib ikut urun biaya bila mereka berobat.

Lantaran salah satu tujuan urun biaya ini untuk mencegah penyalagunaan layanan fasilitas kesehatan, maka ini tidak termasuk paket Indonesia Case Base Group (INACBG’S). Adapun daftar layanan yang wajib turun biaya segera ditetapkan pemerintah.

Pemerintah kini sedang menyusun daftar layanan kesehatan yang masuk kriteria penyalagunaan layanan. Tim penyusun daftar tersebut adalah pejabat Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, akademisi, dan pihak terkait lainnya.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo Kamis (17/1) mengatakan, mekanisme pelaksanaan aturan ini belum jelas karena belum dilengkapi daftar penyalagunaan layanan oleh peserta.

Sementarakoordinator bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar melihat, aturan inimenjadi cara pemerintah untuk mengendalikan biaya sekaligus menyiangi kecurangan dalam layanan kesehatan. Namun, “Perlu ada pengawasan,” ujarnya. Sebab, daftar penyalagunaan umumnya bersifat medis. Ini bisa memacu moral hazard.

Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Subiyanto Pundi menyebut,beleid ini juga berpotensi melanggar UU 24/2011 tentang BPJS kesehatan, khususnya poin pembatas layanan.

Ketimbang berpolemik, Ketua Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi meminta pemerintah memilih opsi menaikkan besaran premi. “Pembatasanlayanan akan membuat berkurangnya manfaat yang harusnya diterima peserta,” ujardia.

Pejabat BPJS Kesehatan masih enggan memberikan tanggapan atas aturan ini. Meski aturan ini bisa membantu mengatasi defisit BPJS Kesehatan saban tahun.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only