Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara meminta artis selegram dikenai pajak. Tujuannya, selain menambah devisa negara juga sebagai keadilan antara pekerja seni di layar kaca dengan media sosial.
”Saya meminta para pekerja seni di dunia maya, termasuk media sosial seperti Instragram yang dikenal dengan selebgram, dikenakan kewajiban membayar pajak. Toh, selebgram menghasilkan pendapatan dari jasa iklan, seperti endorsement,” ungkap Rudiantara di Jakarta, Kamis (10/1/2019).
Dia juga dinilai, serupa dengan pekerja seni di layar kaca dan televisi yang kerap menyetor pajak kepada negara. Dengan demikian, ada keadilan antara pekerja seni di layar kaca dengan media sosial. ”Kalau perform (tampil, Red) di televisi misalnya, kan kena pajak. Di dunia maya seharusnya dikenakan dong. Harus fair dong!” tegasnya.
Rudiantara berharap, agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dapat segera membuat rancangan pemungutan pajak atas para pekerja seni di media sosial. ”Bagaimana caranya? Ya teman-teman pajaklah yang rumuskan. Saat ini kan belum ada,” tandasnya.
Kendati ingin agar para pekerja seni di dunia maya dipungut pajak, namun Rudiantara rupanya tidak mempunyai target khusus kapan aturan itu bisa berlaku. ”Toh, kebijakan tersebut sangat bergantung pada persetujuan dari DJP Kemenkeu,” imbuhnya.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi DJP Kemenkeu, Iwan Djuniardi mengatakan, sebenarnya otoritas pajak sudah memiliki teknologi yang bisa merekam data media sosial Wajib Pajak (WP).
Teknologi itu, sambung Iwan, bernama Social Network Analytics (Soneta). Selain itu, teknologi ini juga bisa menyandingkan kepemilikan saham dan data perpajakan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kendati demikian, lanjutnya, DJP belum melakukan penilaian atas harta yang dimiliki dan diunggah oleh WP di media sosial. ”Penggalian potensi dari media sosial secara tersistem dan masif belum dilakukan karena kami harus sangat hati-hati dengan pertimbangan integritas data dan manajemen data,” jelasnya.
Hal ini, kata Iwan, belum diterapkan juga karena penggalian data WP melalui media sosial masih terbatas dilakukan oleh fiskus pajak (Account Representatives/AR). Untuk itu, ia menyebut masih perlu waktu agar sistem bisa berubah.
Ditambahkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Hestu Yoga Saksama, memang selama ini belum ada aturan khusus terkait pajak para selebgram. Namun demikian, bukan berarti para selebriti di media sosial (medsos) tersebut tidak dikenakan pajak.
”Terkait pajak untuk selebgram, memang tidak terdapat peraturan yang secara khusus mengatur hal tersebut, namun bukan berarti para selebgram tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Dalam hal ini berlaku ketentuan pajak secara umum,” ujarnya, kemarin.
Pajak yang dikenakan pada para selebgram ini seperti Pajak Penghasilan (PPh). Sama seperti wajib pajak lain, selebgram juga harus melaporkan SPT tiap tahun. ”Atas penghasilan selebgram tentu saja merupakan obyek PPh, dan wajib dilaporkan dalam SPT tahunan serta dibayar PPh-nya,” kata dia.
Selain itu, perusahaan atau pihak yang menggunakan jasa selebgram ini juga harus membayar PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ”Di samping itu, perusahaan atau pihak lain yang memanfaatkan jasa selebgram wajib memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada selebgram, membuat dan memberikan bukti potong PPh Pasal 21 tersebut kepada selebgram untuk diperhitungkan dalam SPT Tahunan selebgram tersebut,” tuntasnya.
Sumber : indopos.co.id
Leave a Reply