JAKARTA. Bak membuka kontak pandora, upaya Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mewajibkan pebisnis e-commerce untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan transaksi perdagagan mulai 1 April 2019 bakal menjadi cara mendulang penerimaan.
Maklum, marketplace seperti e-commerce menyimpan banyak data transaksi. Tak hanya bagi marketplace sendiri, tapi juga pedagang online, penyedia jasa, termasuk jasa pengiriman. Data-data transaksi itu pula akan menjadi dasar untuk menguji kepatuhan para wajib pajak dalam membayar kewajibannya.
Yoga Hestu Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Sabtu (12/1) menyebut, aturan ini untuk meningkarkan kepatuhan pelaku e-commerce untuk membayar pajak serta untuk prinsip keadilan yakni perlakuan sama antara pelaku usaha konvensional dan online.
Hingga saat ini, kantor pajak belum membuka besar potensi tambahan penerimaan dari pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 210/PMK,010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik ini.
Pasalnya, hingga saat ini belum ada data resmi nilai transaksi dari perdagangan online di Indonesia. Namun, mengutip data Statista potensi transaksi e-commerce 2018 sekitar US$ 7,86 miliar (setara Rp 110,4 triliun dengan kurs Rp 14.000). Adapun riset Google termasuk nilainya bisa lebih besar yakni US$ 12,2 miliar(170,8 triliun).
Taruh kata, nilai transaksi marketplace ini dilakukan oleh usaha kecil dan menengah (UMKM) dengan tarif pajak penghasilan(PPh) final 0,5% dari omzet, nilai pajak yang bisa raup Rp 552 miliar hingga Rp 854 miliar. Angka ini belum menghitung penerimaan dari Pertambahan Nilai (PPN) 10% juga pajak penghasilan (PPh) badan sebanyak 25% dari pengusaha non UMKM.
Hasil pajak juga bakal terus menggelembung, mengingat proyeksi nilai transaksi e-commerce terus meningkat. Sebagai gambaran, Statista memprediksi tahun ini transaksi ecommerce bisa US$ 9,43 miliar (setara Rp 132 triliun). Sedangkan proyeksi Google pada 2022 bisa mencapai US$ 55 miliar – US$ 65 miliar.
Hanya, pelaku usaha e-commerce masih ragu dengan aturan pajak ini. Selain belum tahu detail tatacara pelaporannya,pekerjaan mereka bertambah untuk memungut, menyetor pajak, serta melaporkan transaksi para pedagang di marketplace.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, perusahaan online di bawah idEA bakal punya kerjaan tambahan. “Ada effort yang lebih,”katanya.
Tak cuma pebisnis online, perusahaan logistik juga akan lebih repot. “Ini menambah beban kami,” ujar Mohamad Feriadi, Direktur Utama JNE merangkap sebagai Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo). Toh, banyak pengiriman dari para pebisnis diluar e-commerce, antar konsumen,antar pebisnis.
Tokopedia masih mempelajari aturan ini. Menurut Astri Wahyuni, Vice President of Public Pocily and Goverment Relationant Tokopedia, Tokopedia menyediakan layanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dan Samsat online.
Hanya, aturan ini mestinya tak memberatkan. Dengan catatan, semua transaksi tercatat dalam sistem e-commerce. Kemajuan teknologi mestinya bisa menyisir semua transaksi di e-commerce.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply