Bentuk Badan Usaha Khusus, RUU Migas wajibkan kontraktor penuhi kebutuhan lokal
JAKARTA. Pemerintah dan parlemen diam-diam kembali menghidupkan pembahasan revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Targetnya : RUU Migas bisa rampung di tahun ini.
Berdasarkan dokumen Rancangan UU Migas yang diperoleh, ada dua poin penting yang menjadi pokok pembahasan utama. Pertama tentang pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.
Lembaga ini memperoleh hak untuk pengusahaan atas manfaat ekonomi atau prospek usaha atas semua cadangan terbukti migas, baik di tingkat hulu maupun hilir.
Kedua tentanga lokasi dan pemanfaatan produksi migas nasional. RUU Migas ini menyebut, seluruh produksi migas diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri.
Setelah kuota dalam negeri terpenuhi, barulah pemerintah menetapkan kebijakan dan jumlah kuota ekspor. Pasal ini berbeda dengan aturan yang sempat memantik kontroversi, yakni maksimal 25% bagian dari produksi kontraktor migas untuk kebutuhan nasional. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menganulir pasal tersebut.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, RidwanHisjam mengatakan, dalam konsep RUU yang sudah diserahkan ke pemerintah, (DPR) juga ingin pembentukan BUK Migas. “Badan usaha ini akan langsung bertanggungjawab ke Presiden, seperti Bulog,” ungkap Ridwan, Rabu (9/1)
Lembaga yang berperan sebagai BUK Migas kelak adalah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas. Untuk mendukung aktivitasnya, BUK Migas bisa melaksanakan kerjasama dengan PT Pertamina (Persero) dan kontraktor migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan skema business to business.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto mengatakan, ESDM sedang menyiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk diserahkan ke Sekretariat Negara (SetNeg) 18 Januari 2019. Kini pemerintah tengah mematangkan poin-poin Beleid itu.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menilai, BUK Migas bukanlah entitas bisnis karena harusnya tak boleh mengambil keputusan bisnis. “Berpotensi moral hazard. Mestinya bukan BUK, tapi super holding,”ujar dia.
Adapun alokasi migas untuk kepentingan domestik, ini akan positif bagi ketahanan energi dan ekonomi Indonesia. Kita bisa mengurangi impor minyak mentah yang masih mendominasi.
Sumber: Harian Kontan
Leave a Reply