Sejak 2014, sektor properti terus dirundung tekanan. Kondisi ini bisa dilihat dari laju pertembuhan produk domestik bruto (PDB) sektor real estat yang terus mengalami penurunan. Pada tahun 2014, pertumbuhannya masih berada di angka 5%. Namun bertahun-tahun setelahnya, perumbuhan PDB sektor ini terus melandai. Data terakhir menunjukkan hingga kuartal III 2018 PDB real estat hanya 3,85%.
Soelaeman Soemawinata, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI), mengatakan kondisi ini tidak lepas dari sejumlah kebijakan Bank Indonesia. Pada September 2013 silam, uang muka rumah dinaikkan menjadi 30% untuk rumah pertama dan 40% untuk rumah kedua.
Lantas, pada 2015, bank sentral mewajibkan pengembang untuk memiliki dana di escrow account sebesar nilai investasi untuk pembangunan perumahan. Kebijakan-kebijakan ini dibuat untuk mencegah bubble di sektor properti. Maklum, sejak 2010, sektor ini tumbuh cukup tinggi.
Dampaknya di bursa saham, emiten di sektor properti yang sempat menjadi primadona berangsur kehilangan pesona. Secara umum pertumbuhan kinerja keuangan melambat.
Tak pelak, harga saham-saham di sektor ini melorot secara berjamaah. Indikatornya bisa dilihat dari Jakprop index (indeks saham sektor properti, konstruksi, dan real estat). Data Bloomberg menunjukkan, pada 11 Agustus 2016, indeks sempat mencapai level tertinggi di 593,606. Namun trennya terus melandai hingga mencapai titik nadir di 398,141 pada 30 Oktober 2018.
Kini berbagai kebijakan terkait properti mulai dilonggarkan. Paling anyar, pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana melakukan relaksasi aturan perpajakan untuk kategori rumah mewah. Pertama, menaikkan batas pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) properti mewah dari Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar. Asal tahu saja, tarif PPnBM ini mencapai 20%.
Kedua, memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk pembelian properti sangat mewah. Berdasar Peraturan Menteri Keuangan No 90/PMK.03/2015, properti hunian seharga lebih dari Rp 5 miliar dikenai PPh pasal 22 sebesar 5% dari harga jual. Nah, pemerintah memangkas tarif ini menjadi hanya 1%.
Tak sesuai harapan
Relaksasi tado menyusul serangkatan kebijakan regulator yang dirilis sepanjang 2018, mulai dari bank sentral yang membolehkan perbankan menerapkan uang muka 0% dalam kredit properti.
Lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menurunkan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) kredit properti. OJK juga membolehkan pemberian kredit pembelian tanah untuk para pengembang.
Maksud kebijakan tadi baik, namun hasilnya belum tentu sesuai yang diharapkan. Soal down payment (DP) 0% misalnya, memang mendorong kenaikan permintaan konsumen. Masalahnya, bank juga menerapkan prinsip kehati-hatian. Pasalnya, risiko sepenuhnya ditanggung bank. “Kita banyak order, tetapi realisasi KPR-nya susah,” keluh Soelaeman.
Tak urung, relaksasi pajak hunian mewah memicu kekhawatiran kondisi serupa DP 0% bakal terulang. Maklum, pangsa pasar pembelinya terbatas. “Emiten pengembangan yang bangun rumah di atas Rp 20 miliar juga jarang. Jadi kebijakan ini enggak berpengaruh juga,” ujar Dennis Christoper Jordan, analis Artha Sekuritas.
Tambahan lagi, konsumen pembeli properti hunian mewah dikenal sangat sensitif dengan eskalasi politik. Biasanya, baik end user maupun investor, memilih menahan diri hingga hajatan pemilihan umum selesai.
Meski demikian, kebijakan tersebut tetap disambut hangat oleh pelaku pasar saham. Maklum, meski pangsa pasarnya kecil namun nilai jual properti mewah yang tinggi berpotensi mendorong kinerja emiten.
Dus, bagai oase di tengah gurun, sentimen relaksasi pajak properti mewah sukses mendongkrak harga saham-saham emiten properti. Tengok saja, per 28 November 2018, Jakprop index sudah merangkak ke level 428,144. Artinya, dibandingkan posisi per Oktober, kenaikannya sudah mencapai sekitar 7,5%.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply