JAKARTA. Kementerian Keuangan akan mengubah aturan pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) serta memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk pembelian rumah mewah.
Dalam perubahan tersebut, rencananya ambang batas pengenaan PPnBM untuk properti mewah akan meningkat dari sebelumnya Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar. Pemerintah pun akan menurunkan tarif PPh pasal 22 pembelian properti dari sebelumnya 5% menjadi 1%. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, revisi peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usaha sektor konstruksi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menjelaskan, dengan adanya insentit yang diberikan maka penjualan hunian mewah akan meningkat. Peningkatan penjualan ini pun akan memberikan dampak ekonomi yang positif.
Yoga mengakui, adanya kebijakan ini memang akan berpeotensi mengurangi penerimaan perpajakan, namun penurunan tersebut tidak signifikan. Bahkan, peningkatan penjualan hunian mewag akan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak lainnya. “Ini untuk mengompensasi potensial loss tadi,” ujar Yoga kepada Kontan.co.id, Kamis (22/11).
Yoga menerangkan, penerimaan PPnBM atas hunian dengan harga di atas Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar berkisar beberapa puluh miliar saja, karena tak banyak unit yang bisa terjual.
Sementara, penerimaan PPh Pasal 22 untuk properti mewah tahun lalu sebesar Rp 140 miliar. Tahun lalu, penjualan properti dengan harga diatas Rp 5 miliar atau dengan luas bangunan minimal 400 meter persegi untuk rumah atau 150 meter persegi untuk apartemen sekitar Rp 2,8 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Yustinus Prastowo mengakui, penerimaan pajak dari properti mewah memang tidak besar, sehingga tidak terlalu berpengaruh besar terhadap penerimana pajak. Namun, menurut Yustinus, adanya kebijakan keringanan pajak ini akan menumbuhkan sektor properti dan akan memberikan dampak ganda kepada sektor lain juga akan berdampak pada penerimaan Pajak.
“Properti itu adalah satu sektor yang efek multipliernya paling tinggi, pertumbuhan di sektor properti dapat membuat jasa konstruksi tumbuh, penyerapan tenaga kerja tinggi, bahkan akan berpengaruh ke bagian hilir, seperti peningkatan penjualan furniture,” tutur Yustinus.
Sumber : kontan.co.id
Leave a Reply