Jakarta — Rata-rata laba bersih lima emiten properti terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini merosot 28,42 persen. Jika rata-rata laba bersih lima besar emiten properti kuartal III 2017 menyentuh Rp878,78 miliar, tahun ini hanya Rp628,95 miliar.
Lima besar dengan nilai kapitalisasi terbesar di sektor properti itu, yakni; PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Pollux Properti Indonesia Tbk (POLL), dan PT Hanson International Tbk (MYRX).
Sejumlah analis menilai jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun ini menjadi penyebab utama penurunan laba bersih emiten properti. Maklum, perusahaan juga memiliki utang berdenominasi dolar AS atau mata uang asing lainnya.
“Kemudian bisnis properti memang sedang lesu saat ini sehingga kinerja perusahaan menurun,” ucap Analis Panin Sekuritas William Hartanto kepada CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Dalam laporan keuangan Pakuwon Jati, rugi kurs perusahaan melebar tembus Rp283,96 miliar sejak awal tahun hingga akhir September 2018. Rugi kurs itu naik berkali-kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp13,89 miliar.
Sementara, Pollux Properti Indonesia pada kuartal III 2017 masih mencatatkan keuntungan kurs sebesar Rp14,56 juta. Namun pada kuartal III tahun ini, perusahaan mendulang rugi kurs sebesar Rp56,16 juta.
Kendati rupiah tertekan, emiten properti patut tetap bersyukur karena mayoritas masih mencetak laba bersih. Pakuwon Jati misalnya, perusahaan meraup keuntungan sebesar Rp1,78 triliun atau naik 25,35 persen. Begitu juga dengan Ciputra Development yang mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 2,39 persen dan Hanson International sebesar 134,06 persen.
Namun, cuan Bumi Serpong Damai dan Pollux Properti Indonesia per September 2018 masing-masing turun 18,98 persen dan 88,24 persen. Keseluruhan realisasi ini disebut William masih di atas ekspektasi pelaku pasar.
“Banyak pelaku pasar menduga akan banyak emiten properti yang merugi karena kurs, tapi justru ada yang mencatat laba bersih lumayan tinggi,” tutur William.
Di sisi lain, Analis Artha Sekuritas Dennies Christoper mengatakan pertumbuhan rata-rata laba bersih emiten properti yang melambat karena masih banyak investor yang menunggu (wait and see). Dengan demikian, penjualan produk properti yang ditawarkan menurun.
“Investor kalau melihat kondisi perekonomian kurang stabil kan otomatis menunda dulu bisnisnya, jadi pengaruhi penjualan perusahaan. Investor kalau mau bisnis kan butuh lahan, aset properti dan sebagainya,” papar Dennies.
Dalam catatan CNNIndonesia.com, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2018 hanya 5,17 persen secara tahunan. Realisasi itu memang lebih kecil dibandingkan dengan kuartal II 2018 yang melesat 5,27 persen. Hanya saja, pertumbuhan kuartal III 2018 masih lebih tinggi dari kuartal III tahun lalu 5,06 persen.
Adapun, rupiah sendiri memang sempat bersandar di area Rp15 ribu per dolar AS dalam waktu satu hingga dua bulan lalu. Beruntung, dalam dua pekan terakhir rupiah berbalik arah menguat hingga ke level sekitar Rp14.500 per dolar AS.
Dalam waktu ke depan, Dennies cukup optimistis kinerja keuangan emiten properti bisa membaik ditopang oleh kestabilan mata uang dalam negeri. Namun, perbaikan kinerja keuangan secara signifikan diramalkan baru terjadi tahun depan.
“Melihat kondisi global dan rupiah saat ini, saya lihat ada peluang recovery,” jelas Dennies.
Hampir sependapat, William juga berpendapat keuangan emiten properti akan bergantung pada pergerakan rupiah. Jika penguatan rupiah tak berlangsung lama, maka kinerja keuangan emiten properti tahun depan kurang lebih sama dengan posisi sekarang.
Harga Saham
Sejalan dengan potensi kenaikan kinerja keuangan emiten properti karena rupiah, harga saham pun diramalkan semakin hijau. Apalagi, pemerintah berwacana akan menghapus Pajak Penghasilan (PPh) 22 dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk pembelian rumah.
“Bumi Serpong Damai dan Ciputra Development paling cocok dengan kebijakan ini,” kata William.
Maklum, penghapusan pajak rumah itu bisa mendorong penjualan rumah mewah yang selama ini menurun. Sebagai perusahaan yang banyak menawarkan perumahan dengan nilai miliaran seperti Bumi Serpong Damai dan Ciputra Development akan untung.
“Tapi balik lagi apakah kebijakan itu disambut oleh investor properti,” ucap William.
Berbeda, Dennies justru berpendapat kinerja dan pergerakan saham emiten bergantung dari faktor global, nilai tukar rupiah, dan suku bunga acuan. Pasalnya, tingkat suku bunga juga menjadi faktor seseorang untuk belanja properti.
Sebagai informasi, mayoritas harga saham emiten properti berakhir di teritori positif pada Jumat (16/11). Hanya Pollux Properti Indonesia yang terkoreksi 3,29 persen ke level Rp1.765 per saham.
Yang lainnya, harga saham Pakuwon Jati menguat 3,36 persen ke level Rp615 per saham, Bumi Serpong Damai menguat 1,71 persen ke level Rp1.190 per saham, Ciputra Development menguat 0,54 persen ke level Rp925 per saham, dan Hanson International stagnan di level Rp119 per saham.
Sumber : cnnindonesia.com
Leave a Reply