Bank Dunia sudah merilis laporan Kemudahan Berusaha (Doing Business) 2019. Hasilnya, Indonesia harus turun satu peringkat dari 72 menjadi 73.
Namun, bila dilihat dari skor, Indonesia sebenarnya tidak mengalami penurunan. Justru terjadi kenaikan skor dari 66,54 menjadi 67,96, atau naik 1,42 poin.
Lantas, mengapa peringkat kemudahan berusaha Indonesia justru turun?
“Sebenarnya kita sudah melakukan sejumlah perbaikan reform,” ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution, Jakarta, Kamis (2/11/2018).
Bila dilihat lebih dalam laporan Bank Dunia, 6 dari 10 indikator penentu skor mengalami peningkatan. Indikator itu yakni Indikator Memulai Usaha atau Starting a Business (dari 77,93 ke 81,22), pengurusan perizinan mendirikan bangunan komersial atau Dealing with Construction Permit (66,08 ke 66,57).
Pendaftaran properti atau Registering Property (59,01 ke 61,67), kemudahan memperoleh sambungan listrik atau Getting Electricity (83,87 ke 86,38), memperoleh pinjaman atau Getting Credit (65 ke 70), dan kemudahan penyelesaian proses kepailitan atau Resolving Insolvency (67,61 ke 67,89).
Sementara itu, 4 indikator lainnya yakni membayar pajak atau Paying Taxes (68,03), perlindungan terhadap investor minoritas atau Protecting Minority Investors (63,33), perdagangan lintas batas atau Trading Across Border (67,27) dan melaksanakan kontrak atau Enforcing Contract (47,23) mengalami stagnasi atau tetap.
Meski tak ada penurunan di indikator skor, namun pada indikator peringkat, 4 indikator mengalami penurunan. Indikator tersebut yakni mengalami penurunan yakni Dealing with Construction Permit, Protecting Minority Investors, Trading Across Border dan Enforcing Contract.
Di sisi lain, 35 negara lain yang disurvei, termasuk Cina, India dan Kenya, justru melalukan reformasi yang lebih signifikan. Hal ini membuat Indonesia harus turun satu peringkat.
“Ini menunjukan secara jelas kepada kita bahwa metode reform-nya tidak bisa lagi cuma otak-atik prosedur. Sebab orang lain (negara lain) reform-nya jauh lebih radikal, orang lain lebih mendasar,” kata Darmin.
Hilang fokus
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengakui, ada semangat yang hilang dari jajaran pemerintah terkait upaya menggenjot peringkat kemudahan berusaha.
“Saya ingat waktu Presiden menggaungkan isu kemudahan berusaha pada 2014 itu semua excited, semua semangat. Itu pada 2015, 2016 itu berapi-api, semuanya fokus semangat,” ujarnya.
“Mungkin saya harus akui 2017 mulai kehilangan fokos. Semangat kita enggak sama lah dengan 2014-2016,” sambung mantan Menteri Perdagangan itu.
Sementara itu kata dia, negara-negara lain justru mulai menjadikan peningkatan peringkat kemudahan berusaha sebagai prioritas layaknya Indonesia pada 2014-2016. Peringkat kemudahan berusaha dinilai penting untuk meningkatkan kepercayan para investor untuk berinvestasi di negara tersebut.
Oleh karena itu, kata dia, negara lain berupaya keras melakukan reformasi di berbagai bidang.
Namun, Indonesia justru hilang fokus, hilang semangat sehingga tersalip oleh negara lain.
Sentilan
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yassona Laoly menilai, salah satu titik lemah yang menyebabkan peringkat kemudahan berusaha Indonesia turun yakni kualitas sumberdaya notaris.
Yasonna mengatakan, peran notaris cukup besar dalam mengurus berbagai keperluan berusaha. Bahkan notaris juga menjadi salah satu pihak yang disurvei oleh Bank Dunia untuk membuat peringkat kemudahan berusaha di suatu negara.
Namun diungkapkan Yasonna, tidak semua notaris memiliki kualitas SDM yang memadai.
Kemenkumham sudah berusaha untuk meningkatkan kualitas notaris di Indonesia melalui peraturan menteri (Permenkumham). Namun aturan itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
“Saya bingung sendiri sebetulnya kita meningkatkan kualitas manusia tetapi Permen itu dibatalin sama MA. Menurut saya (upaya meningkatkan SDM notaris) itu inkonprehensif,” kata dia.
Sumber: Kompas
Leave a Reply