Pemerintah lewat Kementerian Keuangan tengah melakukan kajian tentang penghapusan beberapa komponen pajak pada setiap transaksi rumah atau properti mewah di Indonesia. Tujuannya untuk menstimulasi pasar properti di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi.
Kajian dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Kajian dilakukan terhadap penghapusan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan PPh 22, tapi penerapan hanya akan dilakukan pada salah satu.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, dalam detikcom mengatakan alasan mendasar tentang rencana penghapusan pajak dalam transaksi rumah mewah hanya untuk meningkatkan transaksi sektor properti kategori itu. Namun, wacana tersebut menuai pro dan kontra.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017, rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan harga jual Rp20 miliar atau lebih menjadi objek pajak PPnBM dengan tarif 20 persen. Begitupun juga apartemen, kondominium, dan town house dari jenis strata title dengan harga jual minimal Rp10 miliar akan dikenakan tarif pajak sebesar 20 persen.
Sementara untuk objek pajak yang dikenakan PPh 22 adalah penjualan rumah dengan harga jual minimal Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi dan apartemen dengan harga jual di atas Rp5 miliar atau luas bangunan di atas 150 meter persegi.
Pengamat properti dari Property Watch, Ali Tranghada, menyebut relaksasi pajak tersebut akan memberikan stimulus terutama bagi proyek-proyek properti kelas high end yang kini tengah melambat. Namun menurut Ali, relaksasi tersebut tidak akan signifikan karena tren properti sedang melambat.
“Harusnya ini signifikan bila pelonggaran dalam kondisi tren naik, tapi saat ini momennya menjadi tidak terlalu tepat dalam artian tidak akan mengangkat pasar. Pasokan properti mewah di Jakarta pun di bawah 5 persen, jadi tidak terlalu besar,” jelasnya dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa (23/10/2018).
Selain kehilangan momen, ada hal penting lain yang harus dikoreksi pemerintah sebelum rencana itu diwujudkan.
“Harus diakui PPnBM yang saat ini 20 persen terlalu tinggi. Tetapi tetap jangan PPnBM dihilangkan, karena sudah termasuk mewah maka sudah bukan kebutuhan lagi,” Ali mengingatkan.
Sementara itu Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung, menilai insentif penghapusan pajak belum akan memberikan dampak signifikan pada peningkatan penjualan rumah mewah. Untung mengatakan, pajak bukan menjadi pertimbangan utama konsumen dalam membeli properti mewah saat ini.
“Mungkin membantu, tapi imbasnya untuk mendongkrak kenaikan penjualan paling hanya single digit, paling di bawah lima persen,” kata Untung dalam Republika.co.id.
Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi real estate terhadap produk domestik bruto (PDB) terbilang kecil — hanya 2,74 persen per kuartal kedua lalu. Angka ini cenderung melambat dibanding kuartal sebelumnya yang sebesar 2,81 persen dari PDB.
Sementara, tren laju pertumbuhan PDB real estate juga melambat. Tahun lalu, pertumbuhan PDB real estate mencapai 3,68 persen. Pada 2018, laju pertumbuhan bergerak melambat menjadi 3,23 persen pada kuartal pertama dan 3,11 persen pada kuartal kedua.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan ia belum melihat sektor properti akan mengalami momentum kebangkitan dalam waktu dekat. Langkah pemerintah mengkaji pelonggaran PPh 22 dan PPnBM properti, menurut Josua, bukan suatu hal yang salah. Hanya saja, ia menilai dampaknya tak akan begitu signifikan bagi pasar properti yang masih dirundung tekanan berkepanjangan dan tren suku bunga tinggi.
“Insentif itu arahnya buat yang menengah ke atas dan mungkin memang bisa meng-offside dampak kenaikan suku bunga. Tapi, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih di kisaran 5 persen tampaknya sektor properti belum akan terdongkrak,” ujar Josua kepada Kontan.co.id.
Bagi Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, rencana kebijakan pemerintah tersebut dianggap tidak pas. Menurut pandangannya, PPnBM semestinya dinaikkan — bukan diturunkan.
“Kalau dihapus tujuan perpajakan tidak tercapai,” ujarnya kepada Beritagar.id, Selasa (23/10).
Jika benar PPNBM untuk rumah mewah dihapus, maka ini akan menjadi kebijakan manis pemerintah kesekian kalinya dari segi fiskal. Ditjen Pajak menyebut tidak akan keberatan jika harus kehilangan potensi penerimaan negara dari pos PPnBM demi efek domino yang tercipta dari relaksasi fiskal di sektor properti.
Per September 2018, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan PPn dan PPnBM mencapai Rp351,5 tirliun atau 64,9 persen dari target penerimaan. Angka ini tumbuh 14,35 persen (year on year) dari tahun sebelumnya. Sepanjang 2017, penerimaan tumbuh 15,34 persen menjadi Rp464,4 triliun dari Rp412,21 triliun pada tahun sebelumnya.
Sumber: beritagar.id
Leave a Reply