JAKARTA, – Stimulus fiskal berupa penghapusan pajak penghasilan badan perlu dievaluasi secara berkelanjutan. Setidaknya, investasi dan kriteria industri pionir akan dikaji ulang agar bisa optimal mendongkak investasi nasional yang sedang merosot.
Saat ini, skema penghapusan pajak masih dikaji, termasuk mengenai usulan minimal investasi di bawah Rp 500 miliar. Selain itu, cakupan industri pionir akan diperluas, dari saat ini yang sebanyak 17 industri dengan 153 bidang usaha. Relaksasi penghapusan pajak dibahas Kementerian Keuangan bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Tax holiday masih dikaji lagi karena ada berbagai masukan. Intinya, aturan diperbaiki untuk kemudahan investasi,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan dalam konferensi pers tentang insentif perpajakan di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Kebijakan penghapusan pajak diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Sejak diterbitkan pada pertama kali 2011, relaksasi telah dilakukan dua kali, yang terakhir melalui PMK Nomor 35 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan PPh Badan.
Jangka waktu pemberian insentif maksimal 20 tahun, tergantung nilai investasinya. Relaksasi tahap kedua ini mampu menarik 8 wajib pajak dengan total investasi Rp 161,3 triliun.
Wajib pajak berinvestasi di sektor infrastruktur ketenagalistrikan, industri penggilingan baja, industri besi dan baja dasar, serta industri logam dasar bukan besi. Investor berasal dari China, Hongkong, Singapura, Jepang, Belanda, dan Indonesia.
Pencapaian penghapusan pajak 2018, kata Robert, dinilai cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2011 yang hanya 5 wajib pajak dengan total investasi Rp 39,4 triliun. Bahkan, pada 2015, tak satu pun wajib pajak dan investasi yang masuk dengan memanfaatkan kebijakan penghapusan pajak ini.
Insentif dirumuskan
Selain penghapusan pajak, pemerintah juga merumuskan berbagai insentif perpajakan untuk meningkatkan investasi, antara lain pajak bunga obligasi, pajak ekuitas, kerja sama pajak, serta pajak properti dan sektor jasa. Untuk pajak properti, misalnya, pemerintah berencana menghapus Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan/atau PPh 22.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pendalaman pasar yang rendah menyebabkan Indonesia perlu menerbitkan insentif. Neraca modal masih sangat bergantung pada daya tarik dan daya saing dari instrumen perpajakan dalam negeri. Oleh karena itu, instrumen perpajakan akan terus dikaji dampaknya terhadap pendalaman pasar keuangan.
“Diversifikasi pasar keuangan penting untuk menarik lebih banyak investasi dan mengurangi risiko ketidakpastian global,” kata Sri Mulyani.
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia, transaksi modal dan finansial triwulan I-2018 sebesar 2,39 miliar dollar AS, sedangkan pada triwulan II-2018 sebesar 4 miliar dollar AS. Pada 2017, transaksi modal dan finansial 29,18 miliar dollar AS. Transaksi modal dan finansial terdiri dari investasi langsung, portofolio, dan investasi lain.
Di tengah ketidakpastian global, lanjut Sri Mulyani, stimulus fiskal untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tak hanya mengandalkan defisit APBN. Insentif perpajakan juga digunakan untuk mendorong peningkatan investasi. Kebijakan fiskal akan dibuat dinamis dan fleksibel agar mudah menyesuaikan dengan dinamika global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara menambahkan, insentif fiskal diarahkan untuk mendorong investasi asing langsung, Dengan sistem terintegrasi, dunia usaha akan mendapat kepastian penghapusan pajak dan pengurangan pajak (tax allowance). Aturan insentif fiskal akan dievaluasi secara berkala merespons kondisi nasional dan global.
Insentif perpajakan dari pemerintah dihitung dalam laporan belanja perpajakan 2016-2017 yang rilis akhir September 2018. Belanja pajak 2017 sebesar Rp 143,6 triliun.
Sumber KOMPAS
Leave a Reply