Jakarta – Mantan Menko Maritim, Rizal Ramli turut angkat bicara soal tren depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Dia menuturkan, kondisi nilai tukar rupiah masih belum mencapai titik aman. Sebab kebijakan, terutama dari pemerintah dianggap belum manjadi obat manjur.
“Belum ini baru permulaan. Kenapa? karena langkah itu banyak yang di belakang kecenderungan. Ini baru awal di angka Rp 15.000. (Alasannya) Sederhana langkah-langkah Menkeu itu behind the curve,” kata dia dalam diskusi di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Salah satu kebijakan yang dikritik Rizal adalah penaikan tarif pajak terhadap 1.147 barang impor yang tidak berdampak signifikan pada turunnya defisit neraca perdagangan.
“Dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, paling impor hanya berkurang USD 500 juta. Tidak berani menyentuh the top 10 dari impor Indonesia yang mencapai 67 persen,” ujar dia.
Seharusnya, Pemerintah berani membatasi komoditas impor yang masuk dalam kategori ‘Top 10’, seperti baja. Dia yakin jika Pemerintah berani membatasi impor baja dan beberapa produk lain, nilai impor Indonesia akan menurun. Sebab produk ‘Top 10’ tersebut menyumbang 10 persen terhadap total impor.
“Baja impor kita kalah USD 10,6 miliar. Ambil dong langkah, impor pasti berkurang, dari USD 10 bilion paling ke USD 3 bilion,” tegas Rizal.
“Banyak contoh-contoh asal pemerintahnya cerdas. Fokus di 10 impor paling besar. Obatnya cukup kuat untuk menstabilkan rupiah,” imbuhnya.
Lembaga yang menurut dia sangat tepat mengatasi depresiasi rupiah adalah Bank Indonesia (BI) yang hadir dengan kebijakan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap.
“Satu-satunya yang ahead the curve hanya Bank Indonesia. Gubernur BI yang proaktif, di depan kecenderungan, karena menaikkan tingkat bunga duluan. Itu menolong memperbaiki ekspetasi,” ujar dia.
Sayangnya, kebijakan BI tersebut harus didukung oleh kebijakan dari sisi Pemerintah. Sebab upaya mengatasi depresiasi nilai tukar rupiah tidak bisa hanya diserahkan pada bank sentral.
“Tapi (BI) kalau terlalu tinggi (menaikan suku bunga) NPL pasti makin tinggi. Peredaran kredit pasti berkurang, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tahun ini rencananya 5 persen bisa turun 4,5 persen. Harus diiringi dengan kebijakan di sektor riil, ekspor, impor, daya beli, dan kebijakan ekonomi secara umum. Ini enggak jalan, selalu ketinggalan,” tegas Rizal.
Sumber: liputan6.com
Leave a Reply