KPK menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum maksimal dalam menarik pajak daerah termasuk pajak reklame.
“KPK mencermati jumlah pajak daerah belum maksimal diterima oleh Pemprov DKI Jakarta. Padahal di Jakarta, dalam tahun 2018, sebesar Rp38,12 triliun dari anggaran belanja atau 48,76 persen dari total APBD dibiayai dari pajak daerah,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta.
Agus menyampaikan hal itu dalam konferensi pers akhir tahun Kinerja KPK 2018 yang dihadiri empat pimpinan KPK Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Laode M Syarif, Alexander Marwata serta Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Deputi Bidang Informasi dan Data (Inda) Hary Budiarto, Deputi Bidang Pengawasan Internal, Pengaduan Masyarakat (PIPM) Herry Muryanto dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
“Kami sebenarnya sudah melakukan pendampingan ke Pemprov DKI Jakarta itu sejak masih zamannya Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) sampai zamannya Pak Jarot dan masih berlanjut, peningkatan penambahan pendapatan daerah dari sisi reklame saja dari yang tadinya kurang dari Rp1 triliun jadi sekitar Rp4,9 triliun, itu karena pendampingan KPK dan pendampingan itu berlanjut sampai sekarang,” ungkap Laode M Syarif.
Menurut Agus, permasalahan mendasar di Pemprov DKI Jakarta antara lain ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya, wajib pajak enggan memberikan data transaksi, ketiadaan sistem data dan informasi yang menjadi basis data monitoring potensi pajak (fiscal cadaster), perilaku buruk dan kerusakan moral dalam pembayaran pajak, seperti pemalsuan, penghindaran dan lain sebagainya serta kesulitan dalam pembayaran pajak. Pembayaran pajak juga belum menjadi persyaratan dalam pemberian izin (tax clearance).
“Besarnya potensi penerimaan yang tidak masuk ke kas daerah jika tidak dilakukan perbaikan sistem menyeluruh, maka potensi peningkatan penerimaan pajak DKI sebesar Rp4,9 triliun dari hasil pendampingan KPK di 2017 akan hilang,” ungkap Agus.
Perbaikan Sistem
Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan pajak DKI, KPK mendorong perbaikan sistem dengan penerapan tax clearance. Aturan
itu mewajibkan kepada wajib pajak untuk menyelesaikan tunggakan pajak
daerah saat mengajukan permohonan perizinan atau Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) tidak akan melayani permohonannya.
Pada 2018, KPK menemukan dari 295 tiang tumbuh hanya 5 di antaranya yang memiliki izin. Potensi moral hazard dan pembiaran karena kebuntuan komunikasi antara dinas dan pihak terkait lainnya yang mengakibatkan tidak terpungutnya pajak reklame.
“Sekurangnya potensi pajak reklame yang dapat disetorkan ke kas daerah dengan tarif minimal Rp450 juta per tahun, maka sebesar Rp130 miliar per tahun tidak terpungut padahal pajak reklame merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi Jakarta” tegas Agus.
Pajak reklame menyumbang sekitar tiga persen total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemprov Jakarta.
“KPK juga mendorong Pemprov DKI untuk mengembangkan sistem pengawasan reklame berbasis teknologi informasi dalam hal pendataan dan untuk memperkuat pengawasan oleh masyarakat, maka data tersebut dibuka ke publik,” ungkap Agus.
Agus juga meminta agar data titik reklame dari BPRD (Badan Pajak dan Retribusi Daerah), PTSP, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan serta Satpol PP dapat direkonsiliasi, direkam titik koordinatnya dan dilengkapi dengan metadata.
“Selanjutnya kami akan melakukan pendampingan untuk peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) berkaitan dengan air tanah dan akan tetap berlanjut meski belum maksimum di Pemprov Jakarta serta provinsi lain, yaitu Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,” kata Laode.
Sumber: antaranews.com
Leave a Reply